Duh! Rupiah Terjun Bebas Pagi Ini, Sentuh Rp16.500-an/USD

Ilustrasi. Foto: dok MI.

Duh! Rupiah Terjun Bebas Pagi Ini, Sentuh Rp16.500-an/USD

Husen Miftahudin • 19 March 2025 09:49

Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pembukaan perdagangan hari ini mengalami penurunan cukup signifikan.

Mengutip data Bloomberg, Rabu, 19 Maret 2025, rupiah hingga pukul 09.25 WIB berada di level Rp16.536 per USD. Mata uang Garuda tersebut melemah sebanyak 108 poin atau setara 0,66 persen dari Rp16.428 per USD pada penutupan perdagangan sebelumnya.

Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah pada waktu yang sama berada di level Rp16.529 per USD. Rupiah melemah 110 poin atau setara 0,67 persen dari Rp16.419 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah pada hari ini akan bergerak secara fluktuatif, meski demikian rupiah diprediksi akan menguat.

"Untuk perdagangan hari ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp16.390 per USD hingga Rp16.430 per USD," ujar Ibrahim dalam analisis hariannya.
 

Baca juga: Rupiah Ditutup Melemah ke Rp16.428 per USD Sore Ini
 

Ketegangan geopolitik hingga fiskal melemah


Ibrahim mengungkapkan, Israel melancarkan serangan terhadap target Hamas di Gaza, pembicaraan gencatan senjata gagal. Sejumlah laporan media mengatakan Israel telah melancarkan serangan terhadap target Hamas di seluruh Gaza setelah pembicaraan tentang gencatan senjata gagal.

Serangan itu dilaporkan menewaskan lebih dari 200 orang, termasuk pejabat senior Hamas, dan memicu kemarahan dari kelompok itu, yang menuduh Israel melanggar gencatan senjata Januari. Israel dan Hamas telah menyetujui gencatan senjata sementara pada pertengahan Januari.

Namun pembicaraan mengenai perjanjian damai yang lebih konkret telah memburuk di tengah ketidaksepakatan atas ketentuan gencatan senjata, sementara delegasi AS juga tidak dapat menjadi penengah perdamaian.

Israel mengklaim serangan itu sebagai balasan atas penolakan berulang Hamas untuk membebaskan sandera Israel. Serangan pada Selasa itu menandai pembaruan ketegangan di Timur Tengah.

Di dalam negeri, Ibrahim memandang laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kinerja dan Fakta atau APBN KiTa Februari 2025 menunjukkan indikasi pelemahan fiskal yang perlu segera diantisipasi.

Defisit fiskal sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13 persen terhadap PDB dalam dua bulan pertama tahun ini, ditambah dengan penurunan penerimaan pajak sebesar 30,19 persen (yoy), menjadi tanda bahaya bagi keberlanjutan kebijakan ekonomi pemerintah.

"Jika tidak ada langkah korektif yang tegas, bukan tidak mungkin defisit bisa melebar hingga melebihi batas aman di akhir tahun," tutur dia.


(Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Foto: MI/Susanto)
 

Laporan APBN KiTa edisi Februari 2025


Dilansir dari data Kementerian Keuangan dalam laporan APBN KiTa edisi Februari 2025, realisasi pendapatan negara hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp316,9 triliun atau 10,5 persen dari target APBN tahun ini.

Penerimaan perpajakan mencatatkan angka Rp240,4 triliun atau 9,7 persen dari target tahun ini, terdiri dari penerimaan pajak Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target serta penerimaan kepabeanan dan cukai Rp52,6 triliun atau 17,5 persen dari target.

Sementara itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) telah terkumpul sebanyak Rp76,4 triliun atau 14,9 persen dari target APBN. Anjloknya penerimaan pajak bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi yang lesu, melainkan juga permasalahan administrasi dan implementasi sistem Coretax yang gagal beroperasi secara optimal.

"Penurunan pajak yang drastis ini lebih banyak berkaitan dengan kendala dalam implementasi Coretax yang menghambat pemungutan pajak dari sektor-sektor utama," jelas Ibrahim.

Selain pajak, daya beli masyarakat disebut menjadi faktor utama yang patut dicermati. Inflasi pangan dan energi yang masih bertahan di atas empat persen berpotensi menekan konsumsi rumah tangga yang merupakan kontributor terbesar terhadap PDB.

Menurut Ibrahim, jika daya beli masyarakat terus melemah, maka sektor ritel, UMKM, hingga industri manufaktur akan terdampak signifikan. "Ini bisa menjadi awal dari perlambatan ekonomi yang lebih dalam," jelas dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)