Pulihnya Konsumsi dan Peralihan Investasi Bikin Target DPK Melambat

Ilustrasi logo OJK. Foto: MI/Ramdani.

Pulihnya Konsumsi dan Peralihan Investasi Bikin Target DPK Melambat

Fetry Wuryasti • 4 April 2024 22:23

Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di 2024 pada kisaran tujuh sampai sembilan persen, masih di bawah pertumbuhan kredit.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menjelaskan pada posisi Februari 2024, DPK tumbuh 5,66 persen (yoy) melambat dari tahun lalu yang tumbuh 8,18 persen (yoy).

"Pertumbuhan DPK masih ditopang KBMI 4 yang tumbuh 7,88 persen (yoy) meski melambat dari 9,78 persen (yoy) serta KBMI 1 yang tumbuh 4,85 persen (yoy) atau naik dari 3,96 persen (yoy) pada tahun sebelumnya," kata Dian, dikutip Kamis, 4 April 2024.

Berdasarkan jenis DPK, pertumbuhan DPK didorong oleh Deposito yang tumbuh meningkat yaitu 5,35 persen (yoy) dari 4,85 persen (yoy) pada tahun sebelumnya serta Giro yang tumbuh 7,33 persen (yoy) melambat dari 16,2 persen (yoy).

Adapun pertumbuhan deposito yang meningkat sejalan dengan kenaikan suku bunga sedangkan pertumbuhan giro yang masih cukup tinggi sejalan dengan pertumbuhan kredit.

Namun menurut OJK, kondisi likuiditas bank saat ini masih cukup baik terutama untuk mendukung penyaluran kredit. Hal ini dapat ditunjukkan dengan rasio likuiditas seperti LDR yang sebesar 84,05 persen (di bawah 90 persen) serta kecukupan likuiditas untuk mengantisipasi penarikan dana yaitu AL/NCD dan AL/DPK masing-masing 121,98 persen dan 27,41 persen atau jauh di atas threshold.

OJK melihat perlambatan DPK yang terjadi khususnya di tahun 2023 disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya high based effect pertumbuhan DPK pada akhir 2022, utamanya karena terdapat peningkatan dana yang tinggi dari korporasi.

Dian menekankan, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, perlambatan DPK saat ini justru disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan DPK dengan nominal di atas Rp5 miliar, menunjukkan adanya preferensi penggunaan dana internal korporasi untuk kebutuhan operasional dan ekspansi perusahaan.

Selain itu, perlambatan DPK juga disebabkan penggunaan dana/simpanan untuk konsumsi masyarakat yang kembali meningkat pascapandemi, serta dampak dari perpindahan dana dari instrumen perbankan (DPK) ke alternatif investasi lainnya.
 

Baca juga: Banyak yang Bangkrut, OJK Pelototi Kinerja BPR/BPRS
 

Quantitative easing The Fed


Secara global, terdapat peningkatan likuiditas yang disebabkan oleh pemberlakuan quantitative easing oleh The Fed yang berlangsung antara 2008-2014.

Melimpahnya dana secara global juga mempengaruhi peningkatan sumber dana di Indonesia. Di sisi lain, pertumbuhan kredit dipengaruhi oleh permintaan yang ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi dan ruang ekspansi usaha.

Pada sekitar 2008 hingga 2015 juga terjadi peningkatan harga komoditas yang menyebabkan tingginya ruang ekspansi kredit utamanya pada industri pengolahan. Hal ini juga berimbas pada meningkatnya sektor lain seperti perdagangan serta kepemilikan properti.

Selanjutnya, pada Desember 2013, The Fed mulai mengumumkan rencana dilakukannya tapering dan melakukan normalisasi kebijakan. Hal ini menyebabkan pengetatan likuiditas global yang juga mempengaruhi risk appetite investor dan ketersediaan likuiditas dalam negeri.

Harga komoditas juga berangsur menurun dan mengalami normalisasi sehingga ruang ekspansi menjadi lebih terbatas dan mengurangi demand kredit.

Pengetatan likuiditas juga menyebabkan bank mulai lebih selektif dalam penyaluran kredit. Pertumbuhan GDP Indonesia secara umum berada di kisaran lima persen sejak 2014 atau bahkan sempat mengalami kontraksi di 2020 ketika masa pandemi.

Oleh karena itu, pertumbuhan kredit sektor perbankan selama 10 tahun terakhir hanya 7-12 persen, menurut OJK, ini sejalan dengan kondisi ekonomi yang tidak hanya dipengaruhi kondisi di dalam negeri, tetapi juga sangat berkaitan dengan dinamika ekonomi global.

"Seperti kenaikan suku bunga yang memengaruhi likuiditas secara global serta pergerakan harga komoditas khususnya komoditas energi yang sangat keterkaitan dengan ekonomi domestik," kata Dian.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)