Mahalnya Biaya Politik Dinilai Tak Bisa Jadi Patokan Mengubah Sistem Pilkada

Ilustrasi. Medcom.id.

Mahalnya Biaya Politik Dinilai Tak Bisa Jadi Patokan Mengubah Sistem Pilkada

Devi Harahap • 18 December 2024 16:28

Jakarta: Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal menilai biaya tinggi tak bisa jadi satu-satunya dasar mengubah sistem pemilihan kepala daerah menjadi lewat DPRD. Sistem pilkada tertutup itu juga tidak menjamin mengurangi biaya politik secara keseluruhan. 

"Kalau hanya dengan alasan bahwa banyak kandidat yang kalah kemudian lesu dan adanya biaya yang tinggi, itu tidak bisa menjadi patokan utama bahwa kita harus mengubah sistem pemilu langsung kepada sistem pemilu melalui DPRD secara tertutup," ujar Haykal kepada Media Indonesia, Rabu, 18 Desember 2024. 

Haykal mengatakan wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah harus dilandasi kajian dan evaluasi atas pelaksanaan pilkada yang dilakukan sejak 2005. Menurut dia, yang perlu diperbaiki yakni sistem pencalonan dan kampanye pilkada, bukan mekanisme pemilihannya.

"Apalagi kita belum melakukan kajian dan evaluasi dari pilkada dan pemilu lalu," ungkapnya.

Menurut Haykal, pemerintah harus lebih jeli melihat persoalan dasar terkait sistem kelembagaan kepemiluan di Indonesia. Ia menyebut salah satu masalah serius yang dihadapi sistem pemilu di Indonesia adalah politik uang dan mahar politik yang mahal. Pemilihan lewat DPRD dinilai tak bisa menjadi solusi.

"Kami melihat bahwa sistem politik yang saat ini berbiaya sangat tinggi bukan disebabkan oleh sistem pemilihan terbuka, namun adanya klientelisme mahar politik dengan nominal yang masuk akal, serta praktik politik uang yang dilakukan oleh aktor-aktor politik kepada masyarakat," bebernya.
 

Baca juga: Pilkada Lewat DPRD Tak Otomatis Tekan Biaya Politik

Bagi Haykal, pemilihan kepala daerah lewat DPRD hanya akan memindahkan arena politik uang jauh lebih besar pada ruang-ruang yang tertutup antar elite politik. Model ini justru dinilai akan jauh lebih sulit diawasi. 

"Akan memindahkan arena politik uang dari yang sebelumnya antara calon kepada masyarakat, berganti pada anggota DPRD dan kandidat serta partai politik, tentu ini akan semakin berbahaya karena menciptakan suatu ruang tertutup baru," tuturnya. 

Haykal mendorong pemerintah untuk memperkuat regulasi dan pengawasan yang terintegrasi untuk menghalau politik uang dan mahar politik. Alih-alih mengubah sistem pemilihan lewat DPRD dan mematikan partisipasi masyarakat yang menjadi elemen penting dalam demokrasi.

"Padahal, praktik-praktik demikian itu sudah dilarang dan sudah diatur dalam undang-undang dengan penegakan hukum, tapi ternyata masih cukup lemah sehingga dalam hal ini pemerintah harus berpikir cara lain untuk memperkuat pengawasan dan sanksi, bukan kemudian mengganti sistem pilkada kita," ucap Haykal.

Haykal menilai praktik politik uang justru akan berpotensi terjadi semakin besar jika sistem pemilihan dilakukan melalui DPRD. Sebab, yang 'bermain' bukan lagi masyarakat, namun antarelite yang akan menciptakan hegemoni baru. 

"Bahkan yang lebih berbahaya lagi, hal itu akan memperkuat posisi para elite untuk kemudian menciptakan hegemoni baru, tidak hanya kemudian di dalam partai politik tapi di pemerintahan daerah," tegasnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Arga Sumantri)