Ilustrasi PLTU. Foto: MI/Ramdani.
Annisa Ayu Artanti • 18 January 2024 13:15
Jakarta: Masih banyaknya jumlah Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang beroperasi dinilai menjadi hambatan untuk Indonesia beralih ke penggunaan energi baru terbarukan (EBT).
Pada 2022, sekitar 67 persen pasokan listrik nasional berasal dari pembakaran PLTU batu bara. Selain itu, masalah lainnya, pemerintah merencanakan pembangunan 40,6 GW listrik fosil untuk komersialisasi berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN 2021-2023.
"Pembangkit fosil ini menjadi hambatan untuk berkembangnya ke energi terbarukan. 67 persen listrik kita dari PLTU batu bara," ujar Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto di Forum Diskusi Denpasar 12, dilansir Media Indonesia, Kamis, 18 Januari 2024.
Beda harga energi fosil dan pembangkit EBT
Politikus NasDem itu menuturkan, ada perbedaan penetapan harga energi fosil dengan pembangkit listrik berbasis EBT.
Harga pasokan batu bara dalam negeri atau
domestic market obligation (DMO) untuk kebutuhan PLTU milik PLN diputuskan tetap sebesar USD70 per ton, lebih kecil dibandingkan harga batu bara global yang berada di atas USD120 per ton.
Sementara, harga pembangkit EBT dilepas ke mekanisme pasar.
"Ada harga khusus batu bara untuk dalam negeri, sehingga harga listrik PLTU amat murah. Dan juga energi-energi fosil kita diberikan subsidi. Justru yang EBT dilepas ke pasar," ungkap dia.
Sugeng juga menjelaskan realisasi produksi batu bara naik dan melebihi dari target yang ditentukan. Di 2022, target produksi batu bara ditetapkan sebesar 663 juta ton, namun realisasinya mencapai 687 juta ton.
Hal itu semakin membuat Indonesia sulit melepas ketergantungan dari energi fosil untuk kebutuhan listrik. Namun demikian, pemerintah perlu mengoptimalkan sumber-sumber EBT untuk mempercepat transisi menuju
net zero emissions di 2060.
Mengutip data Kementerian ESDM, Sugeng menyebut ada potensi yang melimpah dan bervariasi dengan kapasitas 3.686 gigawatt (GW).
Potensi itu berasal dari energi surya dengan 3.295 GW, lalu hidrogen sebesar 95 GW, bioenergi 57 GW, panas bumi dengan 24 GW, energi bayu atau angin sebesar 155 GW dan laut sebesar 60 GW.
"Potensi energi baru dan terbarukan kita amat besar. Terbesar memang di tenaga surya. Pemerintah bisa merangsang di setiap rumah memasang pembangkit listrik tenaga surya," ucap dia.
Tantangan transisi energi
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Center for Energy Policy Muhammad Kholid Syeirazi menjelaskan tantangan transisi energi yang dihadapi pemerintah antara lain soal technology green atau teknologi ramah lingkungan yang masih mahal, lalu harga jual produk energi hijau masih tinggi, ekosistem bisnis energi terbarukan yang belum berkembang besar.
"Serta, ketiadaan dana transisi," kata Kholid.
Kholid menyebut Indonesia memiliki kerja sama pendanaan dari program Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dimotori Amerika Serikat.
Kemitraan JETP merupakan inisiatif pendanaan transisi energi senilai lebih dari USD21,5 miliar atau sekitar Rp334 triliun. Namun, sebagian besar pendanaan ini berupa pinjaman konsesi dari perbankan luar negeri dan negara yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) sebagai pendonor JETP.
Kerja sama transisi energi ini pun dianggap membebankan Indonesia dari utang-utang ke depannya.
(Insi Nantika Jelita)