Jakarta: Setiap tanggal 10 Muharam, umat Islam di seluruh dunia memperingati Hari Asyura. Meskipun sama-sama memuliakan hari ini, terdapat perbedaan mendasar dalam cara Muslim Sunni dan Syiah menjalankan dan memaknai Asyura.
Tradisi dan ritual yang berbeda ini berakar dari sejarah, teologi, serta peristiwa penting yang membentuk identitas kedua kelompok sejak masa awal Islam. Lalu, apa saja perbedaan utama puasa dan peringatan Asyura antara Sunni dan Syiah?
Makna dan Sejarah Asyura bagi Sunni
Melansir Middle East Eye, bagi
Muslim Sunni, Asyura dipandang sebagai hari yang penuh nilai spiritual dan sejarah. Hari Asyura diidentikkan dengan peristiwa keselamatan Nabi Musa as dan Bani Israil dari Fir’aun, serta kisah Nabi Nuh as yang selamat dari banjir. Pada hari ini, umat Sunni menjalankan puasa dan memperbanyak doa sebagai bentuk syukur dan penghambaan.
"Untuk Muslim Sunni, Asyura diperingati sebagai hari ketika Nabi Nuh (Nuh) turun dari bahtera, dan ketika Nabi Musa (Musa) membelah Laut Merah untuk menyelamatkan Bani Israil dari Mesir. Mereka memperingatinya dengan berpuasa dan salat khusus di masjid, menandai kesakralan hari tersebut,” dikutip dari Middle East Eye, 12 Juli 2024.
Nabi Muhammad SAW juga menganjurkan puasa Asyura dan menambahkan puasa sehari sebelumnya (Tasu’a) agar membedakan dari praktik puasa kaum Yahudi. Puasa ini bersifat sunnah, dan diyakini dapat menghapus dosa setahun sebelumnya.
Makna dan Praktik Asyura di Kalangan Syiah
Bagi
Muslim Syiah, Asyura bukan sekadar hari puasa, tetapi hari duka cita mendalam. Asyura adalah hari peringatan wafatnya Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW, dalam tragedi Karbala pada tahun 680 M.
"Bagi Syiah, Asyura adalah hari berkabung, memperingati kematian Imam Hussein dalam Pertempuran Karbala. Komunitas Syiah melaksanakan berbagai ritual, termasuk drama kisah Karbala, prosesi, hingga puisi-puisi duka yang menyoroti keteladanan dan pengorbanan Hussein,” dikutip dari Middle East Eye, 12 Juli 2024.
Sebagian Syiah juga melakukan tatbir atau melukai diri sebagai simbol duka dan solidaritas atas penderitaan Imam Hussein. Namun, banyak ulama Syiah, termasuk Ayatollah Khomeini dan Ayatollah Khamenei, mengecam praktik ini dan menganjurkan bentuk peringatan yang tidak melukai diri, seperti donor darah.
"Beberapa Syiah melakukan tatbir, yakni memukul diri sendiri dengan rantai atau benda tajam sebagai bentuk duka. Namun, banyak ulama Syiah menentang praktik ini dan lebih menganjurkan aksi sosial seperti donor darah,” dikutip dari Middle East Eye, 12 Juli 2024.
Perbedaan Filosofi dan Tujuan Peringatan
Bagi Sunni, Asyura adalah momentum untuk memperkuat iman, mengenang sejarah para nabi, dan meneladani syukur Nabi Musa kepada Allah. Puasa dan doa menjadi inti amalan. Sementara bagi Syiah, Asyura menjadi lambang perlawanan terhadap ketidakadilan dan pengorbanan total di jalan kebenaran, dengan pusat peringatan pada kisah Imam Hussein.
"Puasa Asyura bagi Sunni bersifat opsional dan menekankan pengampunan dosa serta syukur atas keselamatan para nabi. Sedangkan Syiah lebih fokus pada duka, solidaritas, serta pembelajaran moral dari tragedi Karbala,” dikutip dari Middle East Eye, 12 Juli 2024.
Perbedaan peringatan Asyura antara
Muslim Sunni dan Syiah tidak hanya pada bentuk ritual, tapi juga pada makna dan tujuan yang dihayati. Asyura bagi Sunni adalah refleksi sejarah dan amalan puasa, sementara bagi Syiah adalah peringatan tragedi dan keteladanan perjuangan.
Namun, keduanya sepakat bahwa 10 Muharam merupakan hari besar yang membawa pesan spiritual bagi umat Islam di seluruh dunia.