Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.
PURBAYA Yudhi Sadewa dan Sri Mulyani punya pandangan sama tentang utang Indonesia. Uniknya, dampak dan penerimaan publik berbeda. Saat menjadi menteri keuangan, Sri Mulyani berkali-kali bilang tidak usah risau dengan utang negara kita. Semuanya terjaga dan dikelola dalam prinsip kehati-hatian.
Kini, posisi menteri keuangan dijabat Purbaya. Menteri keuangan jelas tidak mungkin berkelit dari pertanyaan soal utang. Karena itu, ketika ditanya soal yang sama, tentang kemampuan kita membayar utang yang lebih dari Rp9.000 triliun itu, jawaban Purbaya sama dengan Sri Mulyani, yakni kenapa mesti khawatir? Bedanya hanya diksi: risau dan khawatir.
Purbaya menanggapi kekhawatiran publik soal besarnya utang pemerintah yang pada Juni 2025 tercatat mencapai Rp9.138 triliun dengan rileks. Ia menegaskan kondisi fiskal Indonesia masih aman dan terkendali sehingga tidak ada alasan untuk panik terhadap kemampuan negara membayar kewajiban tersebut. "Kenapa Anda khawatir tentang utang?" tanya Purbaya dalam sesi diskusi dengan ekonom Indef, Aviliani, di acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta, awal pekan ini.
"Kata siapa uangnya enggak cukup untuk membayar? Kalau Anda belajar fiskal, kan, tahu rasio atau ukuran-ukuran satu negara bisa bayar utang seperti apa. Bayar mau atau mampu," tambah dia.
Purbaya lalu menjelaskan lembaga pemeringkat (
rating agency) yang menilai kemampuan fiskal suatu negara berdasarkan dua indikator utama, yaitu
deficit to GDP
ratio (rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto) dan
debt to GDP
ratio (rasio utang terhadap produk domestik bruto). Dalam dua hal itu, posisi Indonesia masih sangat sehat.
Jika dilihat dari indikator paling ketat, yakni
Maastricht Treaty alias Perjanjian Maastricht, sekalipun, masih aman. Dalam ukuran Perjanjian Maastricht, rasio defisit terhadap PDB yang aman 3%, sedangkan rasio utang terhadap PDB tidak lebih dari 60%.
Lalu, berapa Indonesia? Rasio defisit terhadap PDB di bawah 3%, dengan rasio utang terhadap PDB sekitar 40%. Jadi, dengan standar internasional yang paling ketat pun, kita masih
prudent alias tetap terjaga.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan eks Menteri Keuangan Sri Mulyani. Foto: Metro TV.
Apalagi jika rasio utang kita dibandingkan dengan rasio utang sejumlah negara besar di dunia, Indonesia masih separuhnya, malah sepertiganya. Sejumlah negara Eropa memiliki rasio utang terhadap PDB mereka mendekati 100%. Amerika Serikat 100%, Jepang 275%, dan Singapura sekitar 90%. Jadi, posisi Indonesia masih jauh lebih aman. Karena itu, kata Purbaya, tidak perlu panik.
Purbaya memastikan pemerintah berkomitmen menjaga defisit anggaran dan rasio utang tetap terkendali dalam batas aman. Barulah bila perekonomian nasional tumbuh lebih kuat di masa depan, misalnya tumbuh 7%, pemerintah dapat mempertimbangkan langkah-langkah strategis untuk mengelola utang secara lebih fleksibel.
Tidak ada yang baru dari jawaban Purbaya. Menkeu sebelumnya,
Sri Mulyani, berkali-kali menyatakan hal serupa saat ditanya soal utang negara. Pada September tahun lalu, misalnya, Sri Mulyani menilai masyarakat Indonesia cenderung sangat sensitif ketika mendengar kata utang. Padahal, menurut dia, utang itu tak selamanya buruk.
Sri Mulyani menjelaskan tingkat utang di banyak negara ketika itu juga membeludak, terutama karena pandemi covid-19. Sama dengan Purbaya, Sri juga mencontohkan Eropa. Di 'Benua Biru' itu banyak negara punya rasio utang yang meningkat menjadi sekitar 100% dari PDB, bahkan ada yang 120%.
Pada Agustus lalu, Sri Mulyani kembali meyakinkan publik bahwa negara punya kemampuan membayar utang. Pemerintah juga akan menjaga rasio utang terhadap PDB tidak akan lebih dari 60%. Begitu juga defisit, juga akan dijaga di bawah 3% dari PDB.
Terus, di mana perbedaan Purbaya dengan Sri Mulyani soal utang? Setidaknya ada dua yang berbeda. Pertama, tingkat kepercayaan publik terhadap Purbaya masih tinggi. Sebaliknya, kepercayaan terhadap Sri Mulyani mulai tergerus, bisa jadi karena faktor kejenuhan. Itu-itu terus.
Purbaya, baru menjabat dalam hitungan bulan. Masih segar. Ia media
darling dan netizen
darling. Karena itu, meski ucapannya sama, kadar kepercayaan publik berbeda. Setelah mendengar Purbaya mengatakan utang kita aman dan bisa dibayar, publik percaya dan tenang. Saat diminta tidak panik, publik manut dengan tidak panik.
Perbedaan kedua, ada pada keyakinan dan janji dari Purbaya bahwa jika pertumbuhan ekonomi membaik, misalnya 7%, akan ada langkah-langkah yang lebih fleksibel dalam pengelolaan utang. Ada optimisme bahwa ekonomi terus bergerak dan utang digunakan untuk hal-hal produktif.
Jadi, meski percaya bahwa utang negara terjaga, bukan berarti pemerintah bisa suka-suka dan menutup mata pada peringatan waspada. Percaya diri boleh, tapi terlalu percaya diri jangan.