Janji Perdamaian Trump Gagal Total di Tengah Memanasnya Konflik Global

Donald Trump, 4 Maret 2023. (Jim Lo Scalzo, EPA-EFE)

Janji Perdamaian Trump Gagal Total di Tengah Memanasnya Konflik Global

Riza Aslam Khaeron • 15 June 2025 15:29

Washington DC: Lima bulan sejak kembali dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat, janji Donald Trump sebagai pembawa damai dunia kini dinilai gagal total.

Dalam pidato pelantikannya Januari lalu, Trump menyebut warisan terbesar masa kepemimpinannya adalah menjadi "pembawa damai dan pemersatu," dan bahwa kekuatan AS akan "menghentikan semua perang dan membawa semangat persatuan baru ke dunia yang marah, penuh kekerasan, dan tidak dapat diprediksi."

Namun menurut Joseph Gedeon, jurnalis The Guardian yang berbasis di Washington, janji tersebut kini hancur seiring dengan pecahnya kembali konflik di sejumlah wilayah krusial dunia.

"Seorang presiden yang bersumpah akan mengakhiri konflik global justru menyaksikan semua janji itu runtuh — dan agendanya berada dalam kekacauan," tulis Gedeon, Sabtu 14 Juni 2025.

Di Gaza, gencatan senjata yang dibantu broker oleh pemerintahan Trump hanya bertahan beberapa minggu. Israel kembali membombardir wilayah tersebut dan memberlakukan blokade total terhadap bantuan kemanusiaan selama tiga bulan. Korban tewas kini dilaporkan telah melampaui 55.000 jiwa.

Di Ukraina, janji Trump untuk mengakhiri perang pada hari pertama jabatannya juga tak terwujud. Justru, Rusia melancarkan ofensif musim panas dan memasuki wilayah Dnipropetrovsk untuk pertama kali dalam tiga tahun. "Putin jelas tak tertarik pada pendekatan damai ala Trump dan justru berniat memperluas perang," tulis Gedeon.

Di Timur Tengah, kekacauan diplomatik semakin terasa ketika Trump awalnya meminta Israel tidak menyerang Iran.

Tapi hanya beberapa jam kemudian, serangan udara Israel dimulai. Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio buru-buru menyebut serangan tersebut sebagai tindakan sepihak Israel dan menegaskan AS tidak terlibat. Namun Trump sendiri menyatakan bahwa ia telah mengetahui rencana itu dan bahkan mengisyaratkan akan ada serangan lanjutan yang "lebih brutal".

Trump juga sempat mengklaim telah berhasil memediasi gencatan senjata antara India dan Pakistan. Namun klaim itu langsung dibantah oleh pemerintah India yang menyebutnya tak berdasar dan tidak pernah terjadi.
 

Baca Juga:
Israel Minta AS Bantu Serang Iran, Gedung Putih Masih Pertimbangkan

Tidak hanya itu, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth dilaporkan mengakui di hadapan Kongres bahwa Pentagon telah menyusun rencana kontinjensi untuk secara militer merebut Greenland dan Panama. Belum jelas bagaimana rencana invasi itu selaras dengan visi perdamaian yang selama ini dikampanyekan Trump.

Sementara utusan Trump untuk Timur Tengah dan Ukraina, Steve Witkoff, direncanakan akan ke Oman untuk perundingan terkait program nuklir Iran, namun prospeknya suram setelah Iran memberi sinyal tidak akan hadir. Menurut Gedeon, kegagalan ini menunjukkan bahwa pendekatan diplomasi paksa ala Trump tidak diterima di banyak ibu kota dunia.

Di sisi lain, sebagian analis menyebut ada sisi optimistis dari serangan Israel ke Iran. Alex Vatanka dari Middle East Institute menyatakan bahwa serangan itu bisa jadi bagian dari strategi untuk mengejutkan Teheran agar kembali ke meja perundingan. Namun pendapat ini tidak diamini semua pihak.

"Ini bukan langkah yang akan membawa Iran kembali ke meja perundingan," ujar Andrew Borene, Direktur Eksekutif Global Security di Flashpoint.

"Ini hanyalah pembukaan dari titik nyala baru dalam konteks Perang Dingin hibrida global yang kini berkembang cepat," tambahnya.

Apakah strategi ini akan berhasil atau tidak bergantung pada respons Iran. Rezim Teheran bisa memilih kembali bernegosiasi, atau justru meninggalkan jalur diplomasi dan mempercepat ambisi nuklirnya. Gedeon menambahkan, indikasi awal menunjukkan Iran tidak sedang dalam suasana kompromistis setelah fasilitasnya dibom dan sejumlah pemimpinnya tewas.

"Trump berjanji akan menjadi pembawa damai. Sebaliknya, dia justru mengelola berbagai perang sementara inisiatif diplomatiknya runtuh secara nyata. Dari Gaza ke Ukraina hingga Iran, dunia tampak lebih berbahaya dibanding saat dia mengangkat sumpah lima bulan lalu," tutup Gedeon.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Willy Haryono)