Kerusuhan 1998. (Dok. Kantor Kepresiden BJ Habibie)
Jakarta: Pernyataan terbaru dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon tentang keraguan atas terjadinya pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998 menuai gelombang kritik dari publik dan aktivis hak asasi manusia.
Dalam wawancaranya, Fadli Zon menyebut bahwa hingga kini belum ada data yang konklusif terkait penggunaan istilah "massal" dalam kasus tersebut. Ia menekankan pentingnya kehati-hatian akademik dan bukti hukum yang kuat dalam penggunaan terminologi itu.
"Ada pemerkosaan massal, betul enggak ada pemerkosaan massal? Pemerkosaan massal kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan, ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak ada," ungkap Fadli Zon dalam suatu wawancara.
Pernyataan tersebut juga dianggap sebagai bentuk upaya mendiskreditkan kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh Presiden BJ Habibie pada Juli 1998 dan terdiri dari berbagai unsur pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan organisasi kemasyarakatan. Berikut uraian bukti pemerkosaan massal yang dimukan mereka:
Temuan TGPF dan Komnas HAM: Korban dan Lokasi
Dalam laporan investigasi yang dikumpulkan sejak Mei hingga Juli 1998, tercatat bahwa pola kekerasan seksual yang terjadi mengikuti pola yang sangat terorganisir. Sasaran utamanya adalah perempuan etnis Tionghoa, yang berada di kawasan hunian atau tempat kerja komunitas tersebut.
Dokumen menyebut bahwa aksi pemerkosaan dan pelecehan tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari jaringan operasi yang terintegrasi dengan aksi kerusuhan secara keseluruhan.
Jumlah korban yang berhasil didokumentasikan hingga awal Juli 1998 mencapai 168 orang, terdiri dari 152 kasus di wilayah Jakarta dan sekitarnya, serta 16 kasus di kota-kota seperti Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya.
Dari jumlah tersebut, 20 korban dinyatakan meninggal dunia. Tanggal paling mematikan adalah 14 Mei 1998, di mana dalam satu hari tercatat sebanyak 132 kasus pemerkosaan, pelecehan, hingga pembunuhan. Sebanyak 14 korban tewas pada hari itu, sebagian karena dibakar hidup-hidup setelah diperkosa secara brutal.
Wilayah yang paling banyak mencatatkan kasus adalah Jakarta Barat, khususnya daerah seperti Jelambar, Jembatan Dua, Jembatan Tiga, Angke, dan Glodok.
Selain itu, sejumlah titik di Jakarta Utara seperti Pluit dan Sunter, serta kawasan Tangerang dan Bekasi juga dilaporkan mengalami insiden serupa.
Kesaksian Para Korban
Komnas HAM dan TGPF juga merekam berbagai kesaksian saksi mata dan korban. Salah satunya datang dari seorang saksi di Muara Angke pada 14 Mei 1998:
"Sekitar jam 11.30, saya melihat beberapa orang di antara massa mencegat mobil dan memaksa penumpang turun, kemudian menarik dua orang gadis keluar dari mobil. Mereka mulai melucuti pakaian dua perempuan itu dan memperkosanya beramai-ramai. Kedua perempuan itu mencoba melawan, namun sia-sia," ujarnya, dikutip dari laporan investigasi Komnas HAM dan TGPF.
Kesaksian lain dari perempatan Cengkareng menguatkan temuan tersebut.
"Saya melihat beberapa mayat perempuan dalam keadaan telanjang, dengan muka ditutupi koran... dari vagina mereka terlihat leleran darah yang mengering dan dikerubungi lalat," ujar saksi, Jakarta Barat, 14 Mei 1998.
Seorang kakak korban juga menceritakan bagaimana dua adik perempuannya diperkosa oleh sekelompok orang tak dikenal yang menyerbu ruko keluarga mereka.
"Setelah diperkosa, kedua gadis itu dilempar ke lantai bawah yang sudah mulai terbakar," ujarnya, Jakarta Barat, 14 Mei 1998. Dalam kasus lain, seorang mahasiswi Tionghoa mengalami gangguan kejiwaan setelah menyaksikan pemerkosaan brutal yang dilakukan di depan umum.
"Saya jadi sangsi, adik saya itu hanya menyaksikan atau dia sendiri juga diperkosa," ujarnya dalam laporan Tim Relawan, Juni 1998.
Modus Operandi: Bukan Peristiwa Spontan
Komnas HAM dan TGPF dengan tegas menyatakan bahwa pemerkosaan massal pada Mei 1998 bukanlah peristiwa spontan, melainkan tindakan yang terorganisir dan dirancang secara sistematis.
Laporan mencatat bahwa cara-cara yang digunakan untuk menyebarkan isu dan mengondisikan kekerasan terhadap perempuan Tionghoa sangat mirip dengan metode penyebaran kerusuhan: melalui sopir angkutan umum, sambungan telepon, serta penyebaran informasi dari mulut ke mulut.
Komnas HAM dan TGPF mencatat tujuh aspek paralel antara kerusuhan dan pemerkosaan massal:
- Pertama, baik kerusuhan maupun kekerasan seksual diawali dengan pengondisian massa melalui penyebaran isu yang terarah.
- Kedua, metode penyebaran isu menggunakan saluran informal seperti sopir angkot, bajaj, pedagang kecil, dan sambungan telepon.
- Ketiga, terdapat figur komando di lapangan yang secara aktif memberi arahan tindakan, baik untuk pengrusakan maupun untuk pemerkosaan.
- Keempat, para pelaku dalam kedua jenis kekerasan tersebut umumnya tidak dikenal oleh warga lokal dan didatangkan dari luar wilayah.
- Kelima, dalam pelaksanaan tindakan kekerasan, terdengar yel-yel rasis seperti “anti-Cina” yang berfungsi sebagai pemantik massa sekaligus justifikasi tindakan.
- Keenam, setelah peristiwa berlangsung, muncul aksi teror lanjutan. Dalam konteks kerusuhan, ini berupa penyebaran isu akan adanya gelombang serangan susulan. Dalam kasus pemerkosaan, bentuk teror mencakup penyebaran foto-foto korban, penculikan, hingga ancaman berulang terhadap penyintas.
- Ketujuh, sasaran dari kedua bentuk kekerasan ini berbeda secara simbolik namun menyatu secara struktural. Kerusuhan menyasar toko dan ruko milik warga Tionghoa, sementara pemerkosaan massal secara spesifik menargetkan tubuh perempuan Tionghoa sebagai medium penghinaan rasial dan dominasi politik.
Komnas HAM dan TGPF juga mencatat keterlibatan aktor-aktor lapangan yang memiliki pola kerja seragam di berbagai titik lokasi, yang mengindikasikan keberadaan struktur komando terpusat. Berikut beberapa contoh kasus yang diberikan laporan tersebut:
Inisial Nama |
Umur/Status |
Tanggal Kejadian |
Modus Operandi |
M |
Ibu rumah tangga |
14 Mei 1998 |
Sekelompok pelaku tak dikenal memasuki ruko milik korban dan menjarah barang-barang. Sebagian pelaku lainnya mengepung suami korban dan memaksanya menyaksikan tindakan pemerkosaan terhadap istrinya. |
M |
23 tahun |
15 Mei 1998 |
Setelah melakukan penjarahan dan pembakaran terhadap properti korban, sekelompok pelaku melakukan pelecehan seksual berupa perabaan secara paksa terhadap tubuh korban. |
L |
Ibu rumah tangga |
15 Mei 1998 |
Kelompok pelaku menyerbu kompleks permukiman korban. Setelah menjarah, mereka melucuti pakaian korban dan memaksanya melakukan gerakan tari dalam kondisi telanjang di hadapan pelaku dan suami korban. |
L |
11 tahun |
14 Mei 1998 |
Sekelompok orang menyerbu rumah korban dan memperkosanya secara brutal. Selain dilucuti pakaiannya, korban mengalami kekerasan seksual berat dengan alat tumpul dan kawat berduri, yang menyebabkan kematian di rumah sakit. |
Berbagai dokumen, mulai dari kesaksian korban hingga investigasi mendalam oleh Komnas HAM dan TGPF, menunjukkan bahwa perkosaan massal pada Mei 1998 bukanlah isapan jempol. Klaim bahwa tidak ada bukti konklusif terbantahkan oleh data, kesaksian, dan pola tindakan yang konsisten dan terarah.
Mengaburkan atau menyangkal fakta-fakta ini sama artinya dengan mengingkari penderitaan korban dan kegagalan negara dalam melindungi warganya di masa paling kelam sejarah Indonesia pasca-Orde Baru.
Upaya pengaburan atau penyangkalan terhadap kebenaran sejarah adalah bentuk kekerasan ulang terhadap para penyintas, dan mencerminkan kegagalan moral dalam menghadapi tragedi kemanusiaan.