Ilustrasi. Metrotvnews.com.
Jakarta: Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie) mengungkapkan sistem perbukuan yang baik merupakan salah satu instrumen pemenuhan hak mencerdaskan kehidupan setiap warga negara yang diamanatkan oleh UUD 1945.
"Buku berperan penting dalam pemenuhan hak-hak pendidikan warga negara. Membaca merupakan wadah utama untuk mencapai tata kelola pengetahuan yang baik," kata Rerie saat membuka diskusi daring bertema Tata Kelola Pengetahuan dan RUU Buku di Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta, Rabu, 20 Agustus 2025.
Menurut Rerie, salah satu fondasi kemajuan peradaban bangsa adalah tata kelola pengetahuan yang diperoleh dari kemudahan akses pada buku, kebiasaan dan kemampuan membaca. Namun, berdasarkan survei UNESCO 2024, minat baca masyarakat Indonesia 0,001%, atau hanya satu dari seribu orang yang gemar membaca secara aktif.
Sementara itu, laporan PISA 2022, mencatat skor literasi membaca siswa Indonesia yakni 371, berada jauh di bawah rata-rata negara OECD. Berdasarkan kondisi itu, anggota Komisi X DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus, Demak, Jepara) itu mengungkapkan, inisiatif untuk merevisi Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan mulai dicanangkan sejak 2023.
"Rancangan Undang-Undang terkait perubahan atas UU No 3/2017 tentang Sistem Perbukuan itu salah satu tujuannya adalah agar kebijakan terkait perbukuan mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital, perlindungan hak cipta, sekaligus meningkatkan literasi dan daya saing sumber daya manusia (SDM) nasional," ujar Rerie.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong agar para pemangku kepentingan dapat melahirkan kebijakan yang mampu meningkatkan literasi digital dan literasi informasi yang efektif meningkatkan tata kelola pengetahuan. Dengan begitu, mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai bagian pelaksanaan amanah konstitusi UUD 1945.
Ketua Komisi XIII
DPR Willy Aditya mengungkapkan usul untuk merevisi UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan itu sejatinya sudah dilakukannya pada keanggotaan DPR periode yang lalu. Willy mengungkapkan upaya revisi UU Nomor 3 Tahun 2017 itu agak terbengkalai lantaran ketika itu sibuk memperjuangkan sejumlah undang-undang lain.
Menurut Willy, apa yang diusulkan terkait kebijakan perbukuan bukan sekadar revisi, tetapi lebih pada perubahan karena kebijakan yang diusulkan sangat fundamental secara isi dan substansi. Usulan perubahan kebijakan terkait sistem perbukuan, menurut Willy, merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
"Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa itu adalah merupakan tugas suci dalam menjalankan amanat konstitusi," ujar Willy.
Pengusul RUU Perbukuan itu mengatakan tata kelola perbukuan yang merupakan sumber ilmu pengetahuan saat ini masih belum memadai. Willy berpendapat, penghargaan terhadap penulis, penerbit, dan ilmu pengetahuan yang disampaikan pada sebuah buku masih relatif rendah.
"Upaya perubahan UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan sedang diupayakan masuk dalam perubahan Prolegnas pada bulan depan," ujar Willy.
Direktur Utama PT Balai Pustaka (Persero) Achmad Fachrodji menyatakan Balai Pustaka sudah berusia 108 tahun dan memiliki sejarah yang sangat panjang di bidang penerbitan buku. Menurut Achmad, saat ini Balai Pustaka memiliki 6.000 judul buku antara lain berupa novel klasik, cerita rakyat, dan karya sastra lainnya.
"Sejumlah kelemahan pada UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan antara lain kurangnya implementasi dan pengawasan dalam realisasinya," ujar Fachrodji.
Ia mengakui buku berkualitas saat ini sulit didapat di daerah tertinggal. Kebijakan yang ada saat ini juga kurang fokus pada literasi digital dan cenderung fokus pada buku fisik.
UU Sistem Perbukuan masih bias
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman Nugraha mengungkapkan sejak tiga tahun lalu pihaknya sudah meminta badan keahlian Komisi X DPR untuk menyampaikan usulan terkait penerapan sistem perbukuan yang lebih baik. Arys mengaku sangat senang dengan upaya perbaikan sistem perbukuan yang tidak hanya sekadar revisi, tetapi sebuah perubahan kebijakan.
Menurut Arys, UU Sistem Perbukuan sangat bias terhadap buku pendidikan dan buku pelajaran sekolah. Selain itu, pada kebijakan tersebut tidak diatur terkait bagaimana menumbuhkan budaya membaca di masyarakat.
Menurut Arys, bila sebuah kebijakan hanya mengatur sisi hulu, terkait penerbit dan penulis yang harus mampu memproduksi karya berkualitas, tanpa ada kewajiban di sektor hilir seperti menumbuhkan minat baca masyarakat, buku yang diproduksi tidak ada yang beli.
"Pasarnya harus dibangun dengan terus menumbuhkan budaya baca masyarakat melalui berbagai cara, sehingga produk buku berkualitas yang dihasilkan dapat diserap," ujar Arys.
Kemudian, wartawan senior Usman Kansong berpendapat pemerintah bisa melakukan sejumlah upaya untuk menghidupkan ekosistem perbukuan sambil menunggu lahirnya perubahan undang-undang. Menurut Usman, saat ini dalam tata kelola perbukuan di Tanah Air terkesan tidak ada kehadiran pemerintah.
Sejumlah langkah diskresi dinilai bisa dilakukan pemerintah untuk membantu jalannya sistem perbukuan. Seperti ikut aktif meningkatkan minat baca masyarakat dan memangkas atau menghilangkan pengenaan pajak pada sejumlah komponen dalam produksi buku.
"Harus ada langkah konkret yang segera dari pemerintah untuk memperbaiki sejumlah kebijakan dalam upaya menghidupkan dunia perbukuan di Indonesia," ujar Usman.