Ilustrasi kesetaraan perempuan. Foto: MI.
Media Indonesia • 1 November 2025 06:07
MAHKAMAH Konstitusi (MK) mulai berbenah diri. Institusi pengawal konstitusi itu kian mandiri dalam membuat putusan, terutama sejak kritik keras publik yang mempersoalkan hilangnya independensi para hakim dalam membuat putusan. Kini, dari sembilan hakim konstitusi yang independen itu telah membuahkan beragam putusan yang mandiri.
Sebagai lembaga negara, mereka mewujudkan independensi dengan membuat putusan tanpa ragu atau sungkan terhadap lembaga negara lain. Padahal, putusan yang mereka ambil terkadang mengoreksi produk pembuat legislasi meski tanpa ada niat menyudutkan rekan sesama lembaga negara lainnya yang bertugas membuat undang-undang (UU).
MK menerapkan kacamata kuda, tidak sekadar demi mengawal tegaknya konstitusi. Mereka menempuh cara itu karena juga hendak mengawal kualitas demokrasi di negeri ini.
Kali ini, putusan MK menjadi tonggak penting dalam sejarah perjuangan kesetaraan gender dan demokrasi representatif di Indonesia. Hal itu seiring pengabulan uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau UU MD3.
MK menegaskan
DPR wajib memenuhi keterwakilan perempuan minimal 30% dalam jajaran pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD). Dengan demikian, keberadaan perempuan dalam lembaga legislatif tidak hanya soal keterwakilan simbolis, tapi juga menyangkut esensi politik yang menjunjung kesetaraan.
Saat ini, dari 13 komisi di DPR, sebanyak tujuh di antaranya tidak memiliki unsur pimpinan dari
perempuan. Dari delapan badan atau mahkamah di DPR, hanya tiga yang menempatkan perempuan sebagai bagian pimpinan. Adapun dari lima pimpinan DPR, hanya politikus PDI Perjuangan Puan Maharani sebagai perwakilan perempuan.
Anggota DPR perempuan cenderung ditempatkan sebagai pimpinan di komisi bidang sosial, perlindungan anak, dan pemberdayaan perempuan. Terasa kental bias gender dalam penempatan politisi perempuan di AKD. Padahal, perempuan juga perlu dan mampu hadir di bidang ekonomi, hukum, energi, dan pertahanan.
Ilustrasi sidang MK. Foto: MI/Devi Harahap.
Tidak bisa dimungkiri bahwa politisi perempuan kerap terpinggirkan dan kerap menjadi pelengkap dalam kehidupan demokrasi. Perempuan sering kali ditempatkan hanya di isu-isu sosial atau kegiatan seremonial. Padahal, sejarah Indonesia sangat erat hubungannya dengan pemimpin perempuan. Mulai dari pejuang kemerdekaan, kepala daerah, hingga presiden di Republik ini pernah dipimpin oleh perempuan.
Sebagai pemimpin, mereka harus mengurusi politik, pertahanan, energi, ekonomi, dan hukum. Sebagai pemimpin, mereka tentu tidak sekadar mengurusi urusan pemberdayaan perempuan.
Kini, DPR menjadi penentu. Mereka menjadi kunci dan contoh dalam melaksanakan prinsip kesetaraan gender sebagaimana putusan MK.
Implementasi prinsip kesetaraan perempuan bisa berdampak meluas dan melebar. Kocok ulang komposisi pimpinan AKD menjadi pekerjaan rumah anggota dewan. Publik akan segera melihat fraksi di DPR yang berkomitmen dengan isu kesetaraan gender ataupun yang enggan. Partai politik akan terlihat hitam-putihnya dalam memberlakukan kesetaraan gender, antara yang melaksanakan putusan MK dan menolak untuk menggeser posisi laki-laki di pimpinan AKD agar dipercayakan kepada perempuan.
Semua partai politik kerap menyatakan mendukung kesetaraan gender, bahkan mencantumkannya dalam platform resmi. Ironisnya, pernyataan itu sekadar riuh dalam pidato, kampanye, maupun platform di atas kertas.
Kenyataannya, sebagian partai justru kerap menjadi gerbang pertama diskriminasi karena masih bersikap patriarki dalam pengisian jabatan publik. Penentuan pimpinan AKD kerap bukan dari hasil seleksi terbuka berdasarkan kompetensi, melainkan lebih berdasarkan preferensi bias gender.
Publik sangat menantikan keseriusan DPR untuk menindaklanjuti putusan MK itu. DPR akan kembali menjadi contoh kepatuhan hukum bagi publik. Jika DPR saja enggan, tidak mau, atau menunda-nunda melaksanakan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat, semua itu akan menjadi tontonan yang tertanam di benak masyarakat.
Maka, jalankan saja putusan MK dengan segera dan sepenuh hati. Putusan MK telah menjadikan kesetaraan perempuan bukan lagi sebatas pilihan moral, melainkan sudah sebagai kewajiban konstitusional.