Akademisi Kehutanan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Febri Arif Cahyo Wibowo. Dokumentasi/ Istimewa
Daviq Umar Al Faruq • 13 December 2025 18:06
Malang: Ramainya wacana pemerintah membuka ratusan ribu hektare lahan baru untuk perkebunan sawit kembali memantik perdebatan soal dampak ekologis komoditas tersebut. Di tengah isu ini, muncul anggapan di masyarakat bahwa kebun sawit dapat berfungsi layaknya hutan alam, terutama dalam menyerap air dan mencegah banjir.
Namun, pandangan tersebut dinilai berpotensi menyesatkan dan menimbulkan pemahaman yang keliru tentang fungsi sebenarnya dari ekosistem hutan. Akademisi Kehutanan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Febri Arif Cahyo Wibowo, menegaskan bahwa pohon sawit tidak dapat disamakan dengan pohon hutan dari segi fungsi ekologis.
Menurutnya, perbedaan paling mendasar terletak pada struktur akar dan karakter vegetasi. Hal ini menentukan kemampuan suatu tanaman dalam menjaga keseimbangan lingkungan.
Dalam penjelasannya, Febri mengungkapkan bahwa akar sawit bersifat serabut dengan kedalaman rata-rata sekitar satu meter. Struktur ini membuat daya serap dan kemampuan menyimpan air relatif terbatas.
Kondisi tersebut berbeda jauh dengan pohon hutan yang memiliki sistem perakaran lebih dalam, umumnya mencapai dua hingga tiga meter, bahkan bisa menembus hingga sepuluh meter pada kondisi tertentu. Kedalaman akar ini berperan penting dalam menjaga cadangan air tanah sekaligus menstabilkan struktur tanah.
“Sawit adalah tanaman perkebunan bukan tanaman hutan. Masyarakat tidak bisa begitu saja menyamakan kapasitas ekologis sawit dengan pohon
hutan alam. Kalau soal mempertahankan air, pohon jelas lebih unggul,” ujar Febri, Sabtu 13 Desember 2025.
Ia menambahkan, kerentanan ekologis kebun sawit juga dipengaruhi oleh sistem tanam monokultur. Lantai kebun yang minim tumbuhan bawah membuat air hujan langsung jatuh ke permukaan tanah tanpa penghalang alami.
Berbeda dengan hutan alam, yang memiliki lapisan vegetasi mulai dari pohon, semak, hingga daun di tanah. Lapisan-lapisan ini membantu menahan dan memperlambat aliran air hujan sebelum meresap ke tanah.

Akademisi Kehutanan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Febri Arif Cahyo Wibowo. Dokumentasi/ Istimewa
Kondisi vegetasi berlapis ini, kata Febri, sangat penting untuk menjaga kelembapan tanah dan menekan risiko erosi. Sebaliknya, pada kebun sawit, terutama di wilayah berbukit atau lereng, potensi erosi justru meningkat apabila tidak disertai pengelolaan lahan yang memadai.
“Dalam konteks kebijakan ekspansi sawit, risiko erosi merupakan ancaman paling dekat terutama pada kawasan dengan topografi miring. Banyak penelitian menunjukkan tingkat erosi di lahan sawit pada lereng tergolong tinggi. Kalau intensitas hujan tinggi dan tidak ada vegetasi penahan, dampaknya bisa sangat besar. Regulasi sebenarnya sudah sangat jelas, tinggal ditaati saja,” tutur Febri.
Febri juga mengingatkan bahwa perubahan iklim dengan intensitas hujan yang kian ekstrem dapat memperparah kerentanan lingkungan tersebut. Ia menilai ekspansi sawit harus dilakukan secara selektif dengan mempertimbangkan karakteristik lahan dan daya dukung lingkungan.
Pemerintah diminta memastikan pengembangan perkebunan tidak menyasar kawasan rawan bencana atau wilayah yang secara ekologis tidak sesuai. Menurutnya, regulasi terkait pengelolaan hutan produksi maupun hutan tanaman industri sejatinya sudah tersedia. Yang dibutuhkan saat ini adalah konsistensi dalam penerapan aturan agar fungsi ekologis hutan tidak dikorbankan demi kepentingan ekonomi jangka pendek.
“Buat blok-blok khusus untuk sawit, dan kembalikan fungsi hutan pada kawasan yang secara ekologis tidak cocok untuk kebun. Jangan memaksakan sawit tumbuh di tempat yang memang bukan habitatnya. Kalau konservasi ingin berjalan, fungsikan hutan sesuai peruntukannya,” tegas Febri.
Ia berharap diskursus tentang sawit tidak terjebak pada dikotomi ekonomi versus lingkungan, melainkan ditempatkan secara proporsional. Sawit, menurut Febri, memang memiliki nilai ekonomi strategis, tetapi tidak dirancang oleh alam untuk menggantikan fungsi ekologis hutan alam.
Oleh karena itu, arah kebijakan ke depan harus memastikan ekspansi sawit tidak menggerus ketahanan ekologis hutan maupun meningkatkan risiko bencana bagi masyarakat.