Ilustrasi. MI/Seno
Media Indonesia • 20 December 2023 07:29
PELANGGARAN etika yang terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Oktober lalu mestinya menjadi pelajaran mahal bagi bangsa ini. Pelanggaran yang terbukti dilakukan oleh Ketua MK pada saat itu, Anwar Usman, tidak semata mencoreng integritas lembaga, tetapi juga mewariskan kegamangan konstitusi.
Namun, ironisnya, pelajaran itu tidak dianggap genting oleh sejumlah kalangan. Dalam Rakernas Partai Gerindra yang berlangsung Jumat, 15 Desember 2023, Prabowo menyinggung pertanyaan terkait pelanggaraan etik MK, yang diajukan calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan pada debat capres, 12 Desember lalu. Dalam rakernas, Prabowo mengumpat pertanyaan itu dalam bahasa Jawa.
Meski berdalih candaan di tengah ‘keluarga besar’ Gerindra, sikap Prabowo sangat mengkhawatirkan. Ini bukan sekadar tentang kesantunan bahasa ataupun sikap melecehkan calon presiden lain. Paling krusial ialah tentang prinsip soal penegakan etika oleh lembaga dan pejabat negara.
Alasan Prabowo bahwa hukum ialah yang terpenting, ialah tanda bahwa ia tidak menganggap setara antara hukum dan etika. Padahal, kebijaksanaan seorang pemimpin justru hanya bisa lahir jika menjunjung sama tinggi antara hukum dan etika. Meremehkan salah satunya akan melahirkan pemimpin permisif, koruptif, atau bahkan lebih buruk lagi menjadi diktator.
Maka tidak heran jika banyak yang mengingatkan agar para calon pemimpin tidak meremehkan soal etika. Mereka menekankan kedua hal itu, yakni hukum dan etika, sama penting agar menjadi pemimpin yang objektif.
Sesungguhnya, posisi hukum dan etika yang sama penting bukanlah pemahaman sulit. Manusia memang telah mengenal etika sejak kecil, baik dari nilai-nilai agama maupun nilai budaya.
Baca Juga:
Ucapan 'Ndasmu Etik' Prabowo Subianto Disebut Hasto Tak Beretika |