Pemulihan Sumatra Ujian Kepercayaan Publik pada Pemerintahan Prabowo

Presiden Prabowo Subianto saat meninjau bencana banjir bandang di Aceh. Foto: Dok/BPMI Sekretariat Presiden

Pemulihan Sumatra Ujian Kepercayaan Publik pada Pemerintahan Prabowo

8 December 2025 12:48

Oleh: Safriady*

Bencana datang tanpa pernah memberi tenggat waktu. Namun, setiap kali terjadi yang terguncang bukan hanya bangunan dan infrastruktur, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap negara. Pada fase awal pemerintahan Prabowo Subianto, serangkaian bencana di berbagai wilayah Indonesia menjadi ujian besar bukan sekadar terhadap kapasitas teknis pemerintah, tetapi juga terhadap legitimasi kepemimpinan nasional.

Di sinilah pemulihan bencana berubah menjadi arena politik yang menentukan arah persepsi publik, apakah negara benar-benar hadir atau justru terlihat gamang menghadapi situasi genting?
 

Kepercayaan Sosial


Untuk memahami dinamika ini, teori kepercayaan sosial (social trust theory) memberikan landasan penting. Teori ini menjelaskan bahwa masyarakat menilai kredibilitas pemerintah berdasarkan tiga indikator yaitu kompetensi, konsistensi dan integritas. Dalam konteks penanganan bencana, ketiga indikator ini menjadi kunci.

Jika masyarakat melihat pemerintah mampu bertindak cepat, terkoordinasi, transparan, dan tidak kontradiktif, kepercayaan akan meningkat. Sebaliknya, keterlambatan, kebingungan komando, atau komunikasi yang tidak jelas akan melemahkan legitimasi negara. Dengan teori ini, penilaian publik terhadap pemerintah bukan lagi soal suka atau tidak suka, melainkan respons logis terhadap kinerja nyata yang mereka saksikan.

Sejak awal bencana terjadi, berbagai lembaga mulai BNPB, TNI, Polri, Basarnas, hingga jajaran pemerintah daerah bergerak di lapangan. Namun, persepsi publik tidak hanya dibentuk oleh kerja operasional. Lebih dari itu, masyarakat mengamati bagaimana Presiden mengoordinasikan seluruh kekuatan negara. Di era komunikasi digital yang serba cepat dan penuh tekanan informasi, publik menilai pemerintah melalui presisi kebijakan, kehadiran simbolik pemimpin, dan sinkronisasi instruksi antarlembaga.
 

Kompetensi, Konsistensi dan Integritas


Dalam situasi krisis, dimensi kompetensi dari social trust theory tampak jelas memainkan peran. Publik bertanya apakah pemerintah tangkas dalam memetakan kerusakan? Seberapa cepat bantuan mencapai warga terdampak? Apakah negara mampu menjaga rantai logistik tetap lancar? Pada titik ini, pemerintahan Prabowo menghadapi tuntutan besar untuk memastikan setiap elemen birokrasi bergerak dalam satu irama.

Koordinasi pusat-daerah, kejelasan komando, dan efektivitas lapangan bukan hanya pekerjaan administratif, tetapi bagian dari proses membangun kembali rasa percaya. Namun, kompetensi saja tidak cukup.
 
Konsistensi menjadi aspek berikutnya yang menentukan. Pemulihan tidak selesai saat fase tanggap darurat mereda. Justru ketika sorotan media berkurang, kebutuhan warga meningkat, rumah harus dibangun, jalan harus diperbaiki, sekolah harus direnovasi, dan ekonomi lokal harus dipulihkan. Banyak pemerintahan terjebak dalam ‘puncak perhatian singkat’, di mana energi besar hanya dicurahkan di awal, sementara tahap rehabilitasi berjalan lambat. Pemerintah Prabowo harus memastikan bahwa pemulihan berjalan sebagai proses jangka panjang tepat waktu, terencana, dan berkelanjutan. Konsistensi inilah yang menjadi penentu apakah publik merasakan negara benar-benar hadir hingga mereka pulih sepenuhnya.

Di sisi lain, integritas menjadi fondasi paling rapuh tetapi paling menentukan. Integritas dalam konteks kebencanaan bukan hanya soal bebas dari korupsi, tetapi juga terkait transparansi informasi, kejujuran dalam menyampaikan kondisi lapangan, serta ketegasan pemerintah melindungi warga dari spekulasi dan hoaks. Masyarakat menginginkan data resmi yang akurat, bukan pernyataan yang saling bertentangan. Mereka ingin kepastian mengenai prosedur bantuan, bukan kabar simpang-siur. Di sinilah integritas membangun ruang kepercayaan yang bersih, jernih, dan kokoh.
 

Berani Membuka Diri

 
Pemulihan bencana juga berkaitan dengan reformasi struktural. Bencana kerap membuka kelemahan lama, dimana tata ruang yang tidak disiplin, infrastruktur mitigasi yang belum merata, hingga lemahnya sistem peringatan dini. Pemerintahan Prabowo memiliki peluang sejarah untuk menjadikan bencana sebagai batu loncatan menuju pembaruan.

Dengan dukungan politik yang kuat, langkah reformasi bisa mencakup penertiban kawasan rawan bencana, modernisasi sistem geospasial, perluasan kapasitas satelit, hingga penguatan anggaran mitigasi. Proses ini bukan hanya teknis, tetapi juga politis karena memperlihatkan keseriusan negara dalam menutup celah yang selama ini mengancam keselamatan publik.

Namun, kepercayaan publik juga dibentuk oleh persepsi komunikasi. Dalam era banjir informasi, satu pesan yang tidak sinkron dapat memicu kebingungan nasional. Pemerintahan Prabowo perlu menghadirkan pola komunikasi yang tunggal, terverifikasi, dan berbasis data. Transparansi bukan pilihan, melainkan syarat mutlak dalam situasi bencana.
 
Ketika pemerintah terbuka menjelaskan apa yang sudah dilakukan, kendala apa yang dihadapi, dan apa rencana jangka panjangnya, masyarakat akan menilai bahwa negara bekerja dengan jujur. Kejujuran inilah yang menjadi materi dasar dalam membangun kembali integritas dalam teori kepercayaan sosial.
 

Ekspektasi di Masa Krisis


Perlu diakui, ekspektasi terhadap pemerintahan Prabowo cukup besar. Gaya kepemimpinannya yang tegas membuat publik berharap pada efektivitas tinggi di masa krisis. Namun ekspektasi tinggi juga menghadirkan risiko jika setiap kekurangan akan terlihat lebih tajam. Untuk itu, pemerintah perlu menjaga ritme kerja yang konsisten, mengurangi retorika berlebihan, dan memperkuat kinerja lapangan. Di sinilah pemulihan menjadi bukan sekadar proses teknis, tetapi juga proses politik dalam merawat legitimasi.

Pada titik tertentu, bencana dapat menjadi momentum yang menguatkan legitimasi pemerintahan, bila dikelola dengan baik. Jika tidak, ia menjadi sumber erosi kepercayaan. Pemerintahan Prabowo kini berada dalam persimpangan itu. Indonesia adalah negara tangguh, tetapi ketangguhan rakyat memerlukan negara yang hadir dengan kapasitas, ketegasan, dan kejujuran. Melalui kinerja pemulihan bencana inilah sejarah akan mencatat bagaimana pemerintahan ini diuji pada masa-masa awal kekuasaannya.
 

Presisi Operasi Pemulihan


Pada akhirnya, pemulihan setelah bencana bukan hanya tentang membangun rumah dan infrastruktur, tetapi membangun kembali kepercayaan dan rasa aman. Dengan menerapkan prinsip dalam Teori Kepercayaan Sosial, kompetensi, konsistensi, dan integritas pemerintahan Prabowo memiliki peta jalan yang jelas untuk mengembalikan keyakinan publik. Jika ketiga aspek itu dijalankan dengan presisi, maka pemulihan bukan hanya akan memperkuat masyarakat, tetapi juga menopang legitimasi negara dalam jangka panjang.
 
Pada arah yang lebih strategis, keberhasilan pemulihan juga akan menjadi fondasi bagi stabilitas nasional dalam lima tahun ke depan. Ketika masyarakat melihat pemerintah mampu bertindak cepat, memimpin dengan arah yang jelas, serta menjaga transparansi di setiap tahap penanganan krisis, maka hubungan negara–warga akan pulih dan menguat.

Di sinilah pemulihan bencana berfungsi ganda, bukan sekadar respons teknis terhadap kerusakan, tetapi mekanisme rekonsolidasi kepercayaan antara pemerintah dan rakyat. Jika pemerintahan Prabowo mampu memanfaatkan momentum ini untuk memperbaiki tata kelola, memperkuat koordinasi lintas-lembaga, serta memastikan tidak ada warga yang tertinggal dalam proses pemulihan, maka bencana yang mengguncang akan berubah menjadi pijakan baru bagi munculnya negara yang lebih tangguh, responsif, dan dipercaya.


*Penulis adalah pemerhati isu strategis

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Misbahol Munir)