Prajurit TNI AL bersiap mengikuti upacara peresmian KRI Kurau-856 di Dermaga Sunda Kelapa, Batavia Marina, Jakarta, Kamis (6/7/2017). Foto: MI/Arya Mandala
Oleh: Safriady*
Satu dekade terakhir, lautan Indonesia menghadapi tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perubahan iklim, persaingan teknologi hijau, eksploitasi sumber daya, dan meningkatnya ketegangan geopolitik di Indo-Pasifik telah menjadikan laut sebagai arena pertarungan strategis yang tak lagi konvensional. Data terbaru memperlihatkan bagaimana ancaman di laut bergerak cepat, baik dari illegal fishing, shadow fleet, sabotase infrastruktur bawah laut, hingga serangan siber ke pelabuhan menunjukkan bahwa keamanan maritim Indonesia kini berada pada babak baru yang jauh lebih kompleks dibanding satu generasi sebelumnya
Fenomena global yang turut memperkuat dinamika tersebut adalah kemunculan green arms race atau perlombaan senjata hijau. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Uni Eropa kini berlomba menanamkan teknologi rendah karbon dalam sektor militernya.
Kapal perang bertenaga hibrida, drone surya, logistik militer berbasis energi bersih, hingga pangkalan dengan mikrogrid mandiri menjadi standar baru yang mencerminkan bagaimana pertahanan modern kini bertumpu pada efisiensi energi dan keberlanjutan lingkungan. Pergeseran paradigma ini secara langsung memengaruhi arsitektur pertahanan laut negara berkembang, termasuk Indonesia yang berada di jantung Indo-Pasifik.
Laut Indonesia Ruang Strategis dan Ruang Krisis
Posisi geografis Indonesia merupakan modal strategis sekaligus sumber kerentanan. Sebanyak 70 persen wilayah negara ini berupa laut, dengan garis pantai sepanjang 108.000 kilometer yang menghubungkan dua samudra dan menjadi jalur utama perdagangan dunia.
Selat Malaka, Lombok, dan Sunda menanggung hingga 40 persen arus perdagangan global dan 70 persen pasokan energi internasional. Namun, potensi ini terancam oleh kombinasi ancaman lama dan baru. Menurut catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia kehilangan lebih dari USD 4 miliar setiap tahun akibat
illegal fishing, belum termasuk kerusakan ekosistem akibat pencemaran dan perubahan iklim.
Fenomena badai tropis yang semakin intens, abrasi pantai, serta naiknya permukaan laut mempersempit ruang aman infrastruktur maritim. Pada saat yang sama, aktivitas kapal asing di Natuna Utara dan Laut Sulawesi terus meningkat, menambah tekanan geopolitik pada kawasan yang sesungguhnya menjadi halaman depan Indonesia di Samudra Pasifik.
Green Arms Race Teknologi Pertahanan Berubah Wajah
Green arms race muncul bukan sekadar sebagai tren teknologi, melainkan respons terhadap realitas lingkungan yang tak dapat dihindari. Amerika Serikat, misalnya, mengembangkan apa yang mereka sebut
Great green fleet, sementara Tiongkok mengintegrasikan teknologi propulsi efisien pada kapal perang modernnya sebagai bagian dari strategi jangka panjang menuju tahun 2049.
Laporan NATO dan berbagai lembaga analisis internasional menegaskan bahwa iklim menjadi variabel penting dalam mengukur kapasitas pertahanan. Militer dunia kini dituntut tidak hanya kuat dan gesit, tetapi juga tahan terhadap guncangan ekologis. Kapal perang bertenaga rendah emisi, pangkalan yang mengandalkan energi terbarukan, serta kendaraan tak berawak yang efisien energi merupakan bagian dari perubahan paradigma tersebut.
Indonesia, meski belum sepenuhnya mengadopsi teknologi hijau di sektor pertahanannya, kini mulai mengambil langkah awal yang strategis. Uji coba biodiesel B35 untuk kapal perang, konversi pangkalan menjadi
green naval base, dan riset propulsi hibrida untuk kapal patroli cepat menandai babak baru modernisasi TNI AL yang lebih adaptif dan berkelanjutan.
Rare Earth Elements Daya Tawar Baru Indonesia
Salah satu elemen kunci dalam
green arms race adalah
rare earth elements (REE), 17 unsur logam tanah jarang yang menjadi fondasi teknologi rendah karbon dan sistem pertahanan modern. Sensor militer, radar, baterai armada otonom, hingga panel surya bertenaga tinggi semuanya bergantung pada REE.
Dalam konteks ini, Indonesia berada pada posisi strategis. Data geologi menunjukkan keberadaan monasit, ion-adsorption clay, dan potensi logam tanah jarang lain yang tersebar di sejumlah wilayah kaya timah dan bauksit. Potensi tersebut tidak hanya menjadikan Indonesia pemain penting dalam rantai pasok energi hijau global, tetapi juga memberi daya tawar geopolitik baru di tengah dominasi Tiongkok yang menguasai hampir 85 persen produksi REE dunia.
Namun, peluang ini tidak datang tanpa risiko. Tata kelola REE yang buruk dapat menjebak Indonesia kembali sebagai negara pengekspor mentah di tengah persaingan global. Dalam konteks ini, Indonesia membutuhkan strategi hilirisasi dan kebijakan industri yang mendorong pemanfaatan REE sebagai bagian dari pembangunan teknologi pertahanan domestik, bukan sekadar komoditas ekspor.
Ancaman Hibrida, Wajah Baru Konflik Maritim
Ancaman yang dihadapi Indonesia di laut tidak lagi bersifat konvensional. Serangan siber yang terjadi dibeberapa instasi strategis pemerintah menyebabkan gangguan yang menunjukkan bahwa perbatasan digital kini sama rentannya dengan perbatasan fisik. Di sisi lain, shadow fleet yang mengangkut komoditas strategis tanpa identitas yang jelas menjadi tantangan baru bagi otoritas maritim.
Dalam perspektif perang hibrida, banyak aktivitas sipil kini dapat berubah menjadi alat politik. Kapal ikan asing dapat berfungsi sebagai milisi, kapal survei dapat berperan sebagai alat pengintaian, dan data navigasi dapat dimanipulasi untuk mengaburkan situasi lapangan.
Di Laut Cina Selatan, taktik ini telah lama digunakan oleh milisi maritim Tiongkok untuk menekan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang berbatasan langsung di kawasan Natuna Utara. Kombinasi ancaman konvensional dan non-konvensional ini menuntut Indonesia membangun pendekatan keamanan maritim yang lebih adaptif, prediktif, dan berbasis teknologi.
Arah Postur Maritim Indonesia
Indonesia memasuki fase strategis dalam pembangunan postur pertahanannya melalui perubahan dari
minimum essential force menuju
optimum essential force. Pergeseran ini menunjukkan tekad Indonesia untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan minimal, tetapi mengembangkan kekuatan pertahanan yang lebih mandiri, modern, dan efisien.
Dalam tubuh TNI AL, transformasi tersebut diwujudkan melalui peningkatan kemampuan kapal patroli generasi baru berbasis propulsi hibrida, modernisasi fregat hasil kerja sama industri nasional dan internasional, program pangkalan laut berbasis energi terbarukan, integrasi teknologi intelijen maritim untuk memperkuat kesadaran situasional dan pengembangan konsep hybrid maritime defense system sebagai paradigma baru ketahanan laut Indonesia.
Model pertahanan ini menggabungkan sensor cerdas, sistem otonom, jaringan keamanan maritim, dan kebijakan keberlanjutan, sekaligus mendorong diplomasi pertahanan Indonesia di Indo-Pasifik.
Laut sebagai Pilar Kedaulatan dan Ketahanan Nasional
Di tengah perlombaan teknologi hijau global, Indonesia memiliki momen historis untuk memperkuat posisi strategisnya. Dengan laut sebagai ruang hidup utama bangsa, transformasi pertahanan maritim bukan lagi agenda militer semata, melainkan agenda keberlanjutan nasional.
Green arms race membuka peluang Indonesia untuk membangun daya tawar baru, baik melalui pemanfaatan REE, pengembangan industri galangan kapal modern, maupun pembangunan
green naval power. Pada saat yang sama, transformasi menuju OEF memberi kerangka kerja jangka panjang bagi pertahanan Indonesia untuk beradaptasi di era ancaman hibrida.
Namun, arah masa depan tidak hanya bergantung pada teknologi atau anggaran pertahanan. Kuncinya terletak pada kemampuan Indonesia mengintegrasikan keamanan, lingkungan, ekonomi biru, dan diplomasi menjadi satu strategi maritim yang menyeluruh. Karena pada akhirnya, laut tidak hanya menjadi batas negara, tetapi juga cermin masa depan Indonesia masa depan yang ditentukan oleh kemampuan menjaga kedaulatan sekaligus keberlanjutan.
Selamat Hari Armada ke-80 TNI AL Jalesveva Jayamahe!!!
*Penulis adalah pemerhati isu strategis