Kenaikan BI Rate Disebut Bikin Rupiah dan Inflasi Terjaga

Ilustrasi Bank Indonesia. Foto: MI/Susanto.

Kenaikan BI Rate Disebut Bikin Rupiah dan Inflasi Terjaga

Media Indonesia • 28 April 2024 12:24

Jakarta: Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina Setiawan melihat keputusan Bank Indonesia (BI) yang menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis point (bps) menjadi 6,25 persen pada April 2024 untuk memperkuat stabilitas rupiah dan menjaga pertumbuhan inflasi hingga akhir tahun ini.
 
"Dampaknya pasti ada, seperti pertumbuhan kredit akan sedikit mengerem. Namun, sisi positifnya rupiah akan lebih terjaga sehingga angka inflasi juga akan terjaga di level 3,2-3,3 persen hingga akhir tahun," ungkap Katarina dalam keterangan resmi, Minggu, 28 April 2024.
 
BI disebut memiliki beragam instrumen untuk mengupayakan penguatan nilai tukar rupiah, seperti intervensi langsung di pasar, menghimpun dana melalui sekuritas rupiah Bank Indonesia (SRBI), sekuritas valuta asing Bank Indonesia (SVBI) dan sukuk valuta asing Bank Indonesia (SUVBI, aktif di pasar non-deliverable forward (NDF), dan mengeluarkan kebijakan makroprudensial.
 
Katarina juga berpandangan meredanya tensi politik dalam negeri pasca keputusan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemilihan Umum yang mengesahkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang Pilpres 2024, serta cukup tingginya cadangan devisa Indonesia, membuat BI memiliki modal yang cukup untuk menjaga nilai tukar rupiah ke depan.
 
"Saat ini kenaikan suku bunga acuan dipandang efektif dan perlu. Untuk tahun ini, suku bunga acuan BI Rate diperkirakan masih di kisaran 5,75 persen sampai 6,25 persen. Adapun untuk nilai rupiah di kisaran Rp15.400 hingga Rp16.000 per dolar AS," imbuh dia.
 

Baca juga: BI Pede Inflasi Terjaga Meski Inflasi Volatile Food Meningkat
 

Latar belakang kenaikan BI Rate

 
Katarina menjelaskan ada dua hal yang melatarbelakangi kenaikan BI Rate di pekan ini. Pertama, kondisi perekonomian di AS, yang mana data-data perekonomian AS menunjukkan inflasi yang masih tinggi, pertumbuhan sektor tenaga kerja yang masih solid, dan kuatnya penjualan ritel. Kesemuanya membuat The Fed harus menunggu sedikit lebih lama dalam pemangkasan suku bunga.
 
Hal lainnya adalah kondisi geopolitik di Timur Tengah yang dipicu ketegangan antara Iran dan Israel. Jika terus tereskalasi, dapat meningkatkan potensi inflasi global lewat kenaikan harga minyak dunia. Dua penyebab utama ini yang menyebabkan mata uang dolar AS menguat terhadap mata uang lain di dunia, termasuk Indonesia.
 
"Melemahnya rupiah membuat membuat BI mengambil langkah preemptive dengan menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,25 persen," terang dia.
 
Katarina menambahkan saat ini pasar finansial masih cenderung volatil terutama dalam jangka pendek. Kendati demikian, masih ada peluang yang bisa diambil investor di pasar saham ataupun pasar obligasi.
 
Di pasar saham, dapat memanfaatkan peluang investasi di sektor-sektor yang pendapatannya dalam mata uang dolar AS dan perusahaan dengan utang yang lebih terbatas.
 
Sementara untuk pasar obligasi, Katarina menyebut saat ini imbal hasil pasar obligasi sedang mengalami kenaikan yang cukup signifikan setelah sebelumnya ada ketidakpastian dari The Fed, di mana asing sudah banyak yang keluar dari pasar Indonesia.
 
"Investor bisa mencermati peluang di obligasi tenor pendek yakni 2 tahun yang kenaikan imbal hasilnya paling lebar di antara tenor-tenor lainnya," jelas dia.
 
(INSI NANTIKA JELITA)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)