Petugas KPPS di Sunter meninggal dunia. Foto: Medcom.id/Yurike Budiman.
Media Indonesia • 20 February 2024 10:36
Jakarta: Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian meminta pemerintah daerah (Pemda) memberikan bantuan bagi petugas penyelenggara pemilu yang wafat. Mulai dari bantuan pemakaman, rumah duka, hingga pemberian beasiswa kepada anak-anak yang ditinggalkan.
"Kita semua berduka karena adanya yang wafat, tapi saya mengimbau kepada seluruh rekan-rekan kepala daerah untuk memberikan atensi bantuan kepada saudara-saudara kita petugas yang melaksanakan dalam rangka kepemiluan," kata Tito dalam keterangannya, Selasa, 20 Februari 2024/
Tito mengatakan sumber dana bantuan itu bisa diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Mereka yang bisa menerima bantuan tak hanya petugas dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) seperti kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), tapi juga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
"Dan lain-lain, termasuk juga petugas-petugas lain yang terkait dengan kegiatan pemilu," ujar Tito.
Tito mengaku sudah menginstruksikan Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) mempercepat proses administrasi para petugas yang wafat. Salah satunya, dengan memudahkan pembuatan surat kematian.
Berkaca pengalaman Pemilu 2019, kata Tito, langkah-langkah antisipasi akan terus dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah petugas pemilu yang wafat atau sakit ketika bertugas. Bersama berbagai kementerian/lembaga (K/L), pemerintah mengantisipasi agar persoalan ini tidak terulang kembali.
"Oleh karena itu, beberapa langkah sudah dilakukan untuk mengantisipasi itu. Di antaranya adalah mengenai persyaratan-persyaratan, persyaratan yang didasarkan pada masukan Menkes, idealnya manusia itu bisa bekerja terus 10 jam, idealnya," ujarnya.
Dia melanjutkan, pemerintah telah membatasi usia petugas ad hoc di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sebagaimana aturan KPU, usia dibatasi antara 17 hingga 55 tahun. Para petugas itu juga melalui tahap screening untuk memastikan yang bersangkutan dalam kondisi baik.
"Screening ini bagian dari menjadi anggota BPJS, oleh karena itulah kami mengeluarkan dari Kemendagri, mengeluarkan Surat Edaran kepada seluruh pemerintah daerah karena
KPU tidak memiliki anggaran untuk iuran BPJS bagi anggota ad hoc ini," terangnya.
Tito mengatakan dalam rangka mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah melalui Kemenkes juga telah menyiagakan fasilitas dan sarana kesehatan untuk membantu petugas ad hoc di TPS, mulai dari Puskesmas, klinik, dan rumah sakit. Kemudian, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), ada klausul tertentu yang berhubungan dengan proses penghitungan suara agar waktunya diperpanjang untuk menghindari kelelahan petugas.
“Kita tahu ya mulai pencoblosan itu jam 07.00 sampai dengan jam 13.00, dan setelah itu dilakukan perhitungan suara maksimal sampai jam 12 malam, tapi kemudian ada putusan MK boleh ditambah lagi 12 jam lagi. Artinya sampai hari berikutnya, itu totalnya lebih kurang 22 ditambah dengan 12, jadi lebih kurang 33 jam," jelasnya.
Pihaknya menegaskan keputusan MK yang menyatakan bahwa penghitungan suara dilakukan tanpa jeda harus dipahami dengan benar. Tanpa jeda yang dimaksud adalah prosesnya, agar tidak terjadi penyimpangan moral (moral hazard). Sementara petugasnya, sebagaimana standar yang dibuat oleh Kemenkes, idealnya manusia bekerja secara terus menerus tidak lebih dari 10 jam.
"Dari KPU berpendapat bahwa kenapa tanpa jeda, supaya tidak terjadi break, kalau break perhitungan nanti ada moral hazard kerawanan. Oleh karena itulah terus menerus, tapi tidak berarti individualnya terus menerus, prosesnya tetap berjalan, ada perhitungan. Kalau dia mau ke toilet, ada yang lelah, mengantuk sekali, artinya bisa istirahat sementara temannya bisa mengerjakan," ujarnya.
KPU melaporkan ada 71 petugas penyelenggara pemilu wafat. Para petugas tersebut merupakan anggota KPPS di tingkat kelurahan hingga TPS. Selain itu ada petugas perlindungan masyarakat (linmas) dan panitia pemilihan kecamatan (PPK).