Kurangi Ketergantungan TKD, Pemda Diminta Kreatif dan Inovatif Genjot PAD

Ilustrasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Foto: dpmptsp.bulelengkab.go.id

Kurangi Ketergantungan TKD, Pemda Diminta Kreatif dan Inovatif Genjot PAD

M Ilham Ramadhan Avisena • 20 August 2025 14:07

Jakarta: Pemerintah daerah (pemda) didorong untuk kreatif dan inovatif dalam melakukan agenda pembangunan di wilayahnya, itu termasuk pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tujuannya ialah agar ketergantungan terhadap transfer ke daerah (TKD) yang bersumber dari APBN dapat ditekan.

Dengan cara yang kreatif dan inovatif dalam mencari pembiayaan, pemda dinilai tak akan kesulitan untuk mendongkrak PAD-nya.

"Kami sebetulnya mendorong kerja sama dengan pihak ketiga, baik itu dengan public-private partnership (PPP) misalnya, atau dengan kerja sama antara daerah, kerja sama antara daerah dengan pihak ketiga," kata Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman saat dihubungi, Rabu, 20 Agustus 2025.

Selain itu, pemda juga diminta mampu untuk memberikan insentif terhadap investasi yang masuk di wilayahnya. Terlebih saat ini mayoritas PAD bersumber pada pajak dan retribusi yang bertumpu pada sektor jasa.

Insentif terhadap investasi, kata Herman, dapat memantik geliat perekonomian daerah, utamanya di sektor jasa. Itu dapat diimplementasikan melalui pengembangan sektor pariwisata dengan membangun hotel, restoran, dan lainnya yang berkaitan langsung.

Hal tersebut berkaitan dengan kebijakan pemerintah di sejumlah daerah yang menaikan tarif PBB P2. Kebijakan itu berujung penolakan warga. Di Pati dan Bone, misalnya, penolakan mengalir hingga terjadi kerusuhan.

Herman menilai, itu sejatinya turut mencerminkan pemda yang kurang komunikatif dan tak memberikan penjelasan yang terang kepada warga. Alhasil, upaya untuk meningkatkan PAD tersebut justru menjadi bumerang.

Padahal penaikan tarif PBB P2 sejatinya juga telah tertuang dalam UU 1/2022 tentang Harmonisasi Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). UU tersebut memuat batas pengenaan dasar yang semula 0,3 persen menjadi 0,5 persen. Itu memberikan ruang bagi pemda untuk membuat
kenaikan tarif PBB P2.
 

Baca juga: Kemendagri Terbitkan Surat Edaran, Minta Kepala Daerah Tinjau Ulang Kenaikan PBB


(Ilustrasi. Foto: dok MI)
 

Pemda lalai optimalkan komunikasi dan sosialisasi


Karenanya, resistensi masyarakat boleh jadi bukan disebabkan oleh kenaikan tarif, melainkan komunikasi dan sosialisasi yang tak dioptimalkan oleh pemda.

"Sebetulnya resistensi, polemik itu seharusnya itu terjadi di tahap proses pembahasan, bukan setelah ditetapkan. Kami mendorong tidak pada pengaturan terkait dengan tarif, tetapi pada pembenahan di level administrasi pemungutannya," kata Herman.

"Artinya yang sekarang daerah itu perlu berinovasi adalah bagaimana mengoptimalkan potensi pajak dan retribusi daerah itu dengan pembenahan di sistem pemungutan dan juga database pemungutannya. Itu yang kami dorong sekarang," jelas dia menambahkan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Husen Miftahudin)