Korps Kepolisian Air dan Udara (Korpolairud) Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Polri membongkar kasus pertambangan timah ilegal di Bekasi, Jawa Barat. Metrotvnews.com/Siti Yona
Siti Yona Hukmana • 6 February 2025 21:48
Jakarta: Polri mengungkapkan kasus pengolahan atau tambang pasir timah menjadi timah seberat 5,81 ton di wilayah Bekasi, Jawa Barat, terindikasi jaringan internasional. Kepala operasional tambang ini merupakan warga negara (WN) Korea Selatan (Korsel) berinsial Mr. J.
"Ada indikasi ke sana (jaringan internasional) tapi perlu kita buktikan lagi," kata Kasubdit Gakkum Ditpolair Baharkam Polri Kombes Donny Charles Go dalam konferensi pers di Jakarta Utara, Kamis, 6 Februari 2025.
Donny mengatakan pihaknya mengendus jaringan internasional berdasarkan keterangan tersangka Mr. J. Keterangan tersangka tak serta merta diterima penyidik, karena perlu pendalaman lebih lanjut.
"Jadi kami belum bisa yakini, kecuali sudah ada bukti lain bahwa sudah pernah dikirim ke sana (luar negeri)," ujar Donny.
Kasus ini diungkap Korpolairud Baharkam Polri pada pukul 16.00 WIB, Kamis, 16 Januari 2025. CV Galena Alam Raya Utama (GARU) yang merupakan perusahaan tambang timah ilegal beroperasi sejak 2023.
Sebanyak dua orang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Mr. J dan Direktur CV GARU berinisial AF. Peran Mr. J menjadi kepala pengoperasian gudang pemurnian timah dan menggaji para pekerja Rp5 juta per bulan.
Sementara itu, bahan baku pasir timah dikirim dari Bangka Belitung (Babel). Pengirim bahan baku masih diburu. Para pelaku telah mengolah timah batangan ini sebanyak lima kali di gudang-gudang tertutup di Jalan Lurah Namat, Bekasi, Jawa Barat.
Bahkan, empat olahan timah telah diedarkan ke wilayah yang masih didalami. Sedangkan, pengiriman terakhir yang berhasil digagalkan polisi diduga hendak dikirim ke Korsel.
Sejumlah barang bukti disita di gudang-gudang tempat pemurnian pasir timah menjadi timah itu. Seperti 207 batang balok timah seberat 5,81 ton senilai Rp1,7 miliar, dua toples bening berisi pasir timah, dan alat SRF senilai Rp800 juta yang digunakan untuk mengukur kadar logam, 23 cetakan timah, seperangkat alat CCTV, satu bundel surat jalan, dan 3 handphone.
Akibat perbuatan pelaku, negara mengalami kerugian Rp10.038.000.000. Para tersangka dijerat Pasal 161 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dengan ancaman pidana 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp100 miliar.