Jangan Kompromi dengan Korupsi. Foto: Media Indonesia (MI)/Seno.
Kejaksaan Agung (Kejagung) lagi-lagi menunjukkan langkah impresif dalam upaya pemulihan kerugian negara pada kasus tindak pidana korupsi. Kali ini terkait dengan penyitaan aset milik Sandra Dewi, istri dari Harvey Moeis, terpidana kasus korupsi tata niaga timah.
Langkah itu menandai babak penting dalam upaya pengembalian kerugian negara yang luar biasa besar akibat praktik korupsi yang melibatkan sejumlah pihak di sektor sumber daya alam. Momentum ini juga menegaskan bahwa tidak ada kompromi dalam pemberantasan korupsi.
Dalam kasus tersebut, Kejagung telah menyita sejumlah aset yang tercatat atas nama Sandra Dewi, mulai dari perhiasan, dua unit kondominium di Gading Serpong, rumah mewah di kawasan Pakubuwono dan Permata Regency Jakarta, tabungan bank yang diblokir, hingga 88 buah tas mewah.
Namun, dalam perkembangannya, Sandra Dewi menggugat penyitaan aset-aset tersebut dengan dalih aset itu tidak terkait dengan tindak pidana korupsi dan diperoleh secara sah melalui endorsement atau iklan, pembelian pribadi, hadiah, serta ada perjanjian pisah harta sebelum menikah.
Kejagung pun membantah klaim Sandra Dewi dalam sidang gugatan. Bahkan, menurut Kejagung, semua aset tersebut diduga berasal atau berkaitan dengan hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
Harvey Moeis, yang dalam proses hukumnya terbukti menikmati aliran dana ratusan miliar rupiah dari
skandal timah.
Terungkap adanya aliran dana fantastis senilai lebih dari Rp13 miliar dari Harvey Moeis ke dua rekening pribadi Sandra Dewi. Uang yang mengalir dari Harvey Moeis diduga kuat menjadi sumber dana untuk pembelian serangkaian aset mewah yang kini telah disita oleh negara.
Paparan fakta dari Kejagung itulah yang mungkin membuat Sandra Dewi ciut dan mencabut gugatannya serta menyatakan patuh dengan seluruh proses hukum yang berjalan.
Artis Sandra Dewi. Foto: Media Indonesia (MI)/Usman.
Sikap gigih Kejagung ini patut diapresiasi karena menunjukkan bahwa mereka tidak hanya berorientasi pada vonis pidana, tapi juga pada pengembalian kerugian negara secara konkret.
Langkah cepat dan tegas seperti itu penting untuk menumbuhkan kembali kepercayaan publik bahwa hukum benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat dan negara, bukan sekadar formalitas prosedural yang berlarut-larut tanpa hasil nyata.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, tindakan Kejagung tersebut juga mengirimkan pesan moral dan hukum yang kuat, yakni tidak ada tempat aman bagi hasil kejahatan.
Selama ini,
praktik pencucian uang sering kali dilakukan dengan menyamarkan aset melalui nama pasangan, keluarga, atau pihak ketiga. Ketika aparat penegak hukum mampu menembus lapisan penyamaran tersebut dan menyita aset yang terafiliasi dengan pelaku, maka prinsip crime does not pay benar-benar ditegakkan.
Lelang atas aset Sandra Dewi bukan semata perkara administratif, melainkan simbol bahwa hasil kejahatan, sekecil apa pun bentuknya, tidak boleh dinikmati oleh siapa pun.
Pengembalian aset negara harus menjadi agenda berkelanjutan yang tidak berhenti pada satu kasus saja, tetapi menjadi pola penegakan hukum yang sistematis. Negara tidak boleh hanya menghukum orangnya, tetapi juga harus mengembalikan hak publik yang telah dirampas.
Meski demikian, langkah positif ini tetap perlu diiringi dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang kuat. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana proses lelang dilakukan, siapa pihak yang berwenang melaksanakannya, serta ke mana hasil lelang tersebut disetorkan.
Proses yang terbuka dan dapat diawasi publik akan memperkuat legitimasi tindakan Kejagung sekaligus menutup ruang bagi spekulasi atau tuduhan bahwa aset hasil korupsi berpindah tangan tanpa kontrol.