Mengupas Kontroversi Usulan Gelar Pahlawan buat Soeharto

Lukisan Soeharto. Foto: MI/Susanto

Mengupas Kontroversi Usulan Gelar Pahlawan buat Soeharto

Devi Harahap • 25 May 2025 09:06

Jakarta: Wacana pemberian gelar pahlawan nasional bagi Presiden ke-2 Soeharto terus bergulir. Proses asesmen mengenai kelayakan sosok Soeharto masih berlangsung, namun banyak kalangan masyarakat sipil yang menyampaikan penolakan secara terbuka.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, menilai pencabutan nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 yang menekankan pentingnya pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), merupakan sebuah kemunduran demokrasi.

Nama Soeharto resmi dicabut dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998, yang menekankan pentingnya pencegahan KKN. Pasal 4 TAP MPR 11/1998 tersebut berbunyi: 

Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia.

Wana mengatakan penghapusan tersebut menandakan MPR telah memberikan amnesti atau pengampunan moral bagi tindakan Soeharto yang telah merugikan masyarakat luas atas kepemimpinannya selama 32 tahun yang dinilai penuh praktik KKN.

"Tindakan ini merupakan kemunduran bagi reformasi, yang seharusnya menyerukan pengadilan bagi Soeharto dan para kroninya serta menghapus praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme," kata Wana kepada Media Indonesia pada Kamis, 22 Mei 2025.

Menurut dia, pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR yang diikuti dengan rencana pemberian gelar pahlawan nasional, memiliki nuansa politik yang telah direncanakan sejak 2010 untuk menguntungkan kelompok tertentu. 

"Ini tidak hanya akan mengaburkan tanggung jawab negara, tetapi juga mengancam upaya keadilan dan pengungkapan kebenaran yang selama ini diperjuangkan," jelasnya. 

Wana mengatakan gelar pahlawan seharusnya diberikan kepada individu yang berkontribusi besar bagi bangsa tanpa melakukan tindakan tercela. Sementara, pada era kepemimpinan Soeharto memiliki nilai kontradiktif dengan definisi kepahlawanan. 

"(Justru) negara bertransformasi menjadi mesin pembunuh yang ditandai dengan pelbagai pola kekerasan, seperti: pembasmian, kekerasan dalam perampasan sumber daya alam, penyeragaman dan pengendalian, dikelolanya kekerasan antarwarga, kekerasan terhadap perempuan, kebuntuan hukum, pers dibatasi-bahkan pers yang kritis dibredel; partai-partai politik dibatasi," ungkap Wana. 

Catatan KontraS, lanjut Wana, Soeharto bertanggungjawab atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM dan HAM berat, serta tindak pidana korupsi.
 

Baca juga: Setara Institute: Soeharto Tak Layak Dapat Gelar Pahlawan Nasional

Upaya menghapus dosa Soeharto

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai lewat usulan pemberian gelar pahlawan, ada upaya menghapus dosa-dosa Soeharto sebagai pelaku pelanggaran HAM dan akan memutarbalikkan sejarah.

"Keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu hingga hari ini masih mendambakan keadilan yang tak kunjung datang. Oleh karena itu, usulan tersebut harus ditolak jika negara masih memiliki komitmen terhadap penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu," kata Usman kepada Media Indonesia pada Rabu, 21 Mei 2025.

Usman juga menyayangkan adanya pencabutan nama Soeharto dalam pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 oleh Ketua MPR, Bambang Soesatyo (Bamsoet) pada September 2024. Hal itu dinilai dilakukan secara sengaja dan terencana untuk memuluskan pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto.

Pencabutan ini, lanjut Usman, merupakan langkah lanjutan dari surat Fraksi Golkar pada 18 September 2024. Keputusan ini kemudian diambil dalam Rapat Pimpinan MPR yang diadakan bersama pimpinan fraksi dan DPD pada 23 September 2024. 

Dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR, disepakati bahwa penyebutan nama Soeharto dalam pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 kini dianggap selesai, mengingat yang bersangkutan telah meninggal dunia.

"Beberapa kali Soeharto didaftarkan menjadi calon pahlawan nasional tapi sering terkendala dengan isi TAP MPR, mereka sengaja mencabut nama Soeharto. Proses pencabutannya sangat mulus, fraksi Golkar mengajukan surat kepada pimpinan MPR, seminggunya pimpinan MPR Bambang Soesatyo mengajak bicara pimpinan fraksi di DPR lalu semuanya setuju," beber Usman. 

Pakar Hukum Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto menilai, pidato Ketua MPR dalam sidang paripurna maupun surat yang dibuat MPR untuk menjawab permintaan Fraksi Partai Golkar mencabut nama Soeharto dari TAP MPR No XI/MPR/1998, tidak termasuk dalam produk hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). 

Atas dasar itu, pidato dan surat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengubah ketentuan yang ada dalam TAP MPR. Apalagi, proses pengambilan kebijakan dilakukan tiba-tiba hanya di tingkat pimpinan MPR. Keputusan itu bahkan disinyalir melanggar kewenangan MPR.

"Kalaupun dimaksudkan sebagai produk hukum, MPR sudah tidak berwenang atas hal itu. Sebab, dalam konstitusi, MPR tidak bisa lagi membuat TAP MPR yang bersifat mengatur, kecuali hanya dalam bentuk undang-undang dasar," imbuh Aan.
 
Baca juga: Rekam Jejak jadi Alasan Koalisi Masyarakat Tolak Soeharto jadi Pahlawan

Soeharto dianggap pernah berjasa

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar Muhammad Sarmuji merespons banyaknya penolakan dari aktivis demokrasi terkait rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Ia menilai kondisi itu hal wajar sebagai perbedaan pendapat. 

Tapi, ia mengaku tak terlalu ambil pusing soal sejumlah kritik tersebut. Menurut Sarmudji, penolakan sejumlah pihak tetap tak menghapus fakta bahwa Soeharto pernah berjasa memajukan Indonesia.

"Kami mendukung sepenuhnya Pak Harto untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, terlepas dari kekurangan sebagai manusia, jasa beliau terhadap negara sangat besar," ujar Sarmudji kepada Media Indonesia, Kamis, 24 Mei 2025. 

Sarmuji menekankan apapun alasan penolakan dari sejumlah kelompok masyarakat sipil tersebut, tak bisa menafikan bahwa beberapa kebijakan Soeharto dinilai pro terhadap masyarakat pada masanya. 

"Pak Harto mampu mengubah dari Indonesia yang kekurangan pangan menjadi swasembada pangan, beliau juga mentransformasikan Indonesia dari krisis ekonomi menjadi negara macan Asia," tukasnya. 

Sarmudji menuturkan bahwa pihaknya sejak lama mendorong Soeharto untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional. Penantian itu telah ditunggu Fraksi Golkar dan para simpatisan hingga masyarakat yang menghargai jasa-jasa Soeharto.

"Golkar meyakini bahwa jasa-jasa Pak Harto selama 32 tahun menjabat memang layak untuk diperjuangkan sebagai pahlawan nasional. Bahwa ada kekurangan itu semua melekat pada diri semua orang, tetapi kekurangan tersebut tidak pernah menghapus jasa beliau," ucap Sarmuji.
 
Baca juga: Mensos: Gelar Pahlawan Nasional Buat Soeharto dan Gus Dur Diberikan pada November

Usulan gelar pahlawan untuk Soeharto masih dibahas

Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono menjelaskan pihaknya masih terus mengkaji terkait kelayakan sosok Soeharto yang diusulkan menjadi pahlawan nasional. Namun, keputusan akhir pemberian gelar nantinya tetap berada di tangan Istana. 

"Saya belum cek sejauh mana. Tetapi, akhir Mei ini, mestinya pengusulan dari daerah yang diteken (ditandatangani) gubernur segala macam sudah final. Itu akan dilakukan sidang-sidang di tim(TP2GP) untuk meng asesmen, mengkaji, dan meneliti," kata Jabo di Jakarta pada Sabtu, 25 Mei 2025.

Jabo tak banyak komentar saat ditanya terkait pertimbangan apa saja yang menjadi dasar untuk memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto, Namun usulan dari para aktivis demokrasi yang menolak pemberian gelar pahlawan buat Soeharto akan didengar sebagai masukan dan menjadi pertimbangan pemerintah. 

"Kalaupun ada pro dan kontra terkait pemberian gelar pahlawan nasional, itu hal yang biasa. Namun, setiap masukan publik tentu akan dipertimbangkan oleh Kemensos," ujar mantan aktivis 1998 itu. 

Jabo menuturkan hasil sidang tersebut selanjutnya akan disampaikan kepada Dewan Gelar di Istana Negara. Setelahnya, proses finalisasi mengenai sosok-sosok yang akhirnya diberi gelar tersebut menjadi kewenangan anggota Dewan Gelar, yang akan diteruskan untuk disetujui oleh Presiden Prabowo Subianto.

"Jadi, Kemensos hanya mengusulkan. Keputusannya tetap nanti di Istana," kata Jabo.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arga Sumantri)