Ilustrasi rupiah. Foto: MI.
Husen Miftahudin • 17 September 2024 17:19
Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan hari ini kembali mengalami penguatan.
Mengutip data Bloomberg, Selasa, 17 September 2024, nilai tukar rupiah terhadap USD ditutup di level Rp15.335 per USD. Mata uang Garuda tersebut menguat sebanyak 66 poin atau setara 0,43 persen dari posisi Rp15.401 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memperkirakan nilai tukar rupiah pada perdagangan Rabu besok akan kembali menguat.
"Untuk perdagangan besok, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp15.230 per USD hingga Rp15.350 per USD," ujar Ibrahim, dikutip dari analisis hariannya.
Ia pun membeberkan penyebab perkasanya nilai tukar rupiah saat melawan dolar AS hari ini, diantaranya sentimen yang berasal dari eksternal maupun internal.
Menanti Fed pangkas suku bunga
Ibrahim mengungkapkan, The Fed secara luas diharapkan untuk mengumumkan setidaknya pemotongan suku bunga sebesar 25 basis poin pada akhir pertemuan kebijakan September pada Rabu.
Namun laporan Wall Street Journal dan Financial Times minggu lalu memicu spekulasi di antara para pedagang bank sentral dapat memberikan pemotongan yang lebih agresif sebesar 50 basis poin (bp).
Pasar berjangka memperkirakan peluang 61 persen untuk pemotongan sebesar 50 bp, naik dari sekitar 15 persen minggu lalu. Imbal hasil Treasury AS telah jatuh menjelang pertemuan Fed yang sangat dinanti-nantikan, terutama karena peluang untuk pemotongan suku bunga setengah poin semakin besar.
"Fed secara luas diperkirakan akan memberi sinyal dimulainya siklus pelonggaran minggu ini, yang dapat menyebabkan suku bunga turun lebih dari 100 bp pada akhir tahun," terang Ibrahim.
Sementara itu, imbal hasil acuan 10 tahun turun 30 bp dalam waktu sekitar dua minggu. Imbal hasil dua tahun, yang lebih erat kaitannya dengan ekspektasi kebijakan moneter, turun 2,5 bp menjadi 3,5509 persen dan turun dari sekitar 3,94 persen pada dua minggu lalu.
Di sisi lain, Bank Sentral Eropa memangkas suku bunga sebesar 25 bp minggu lalu, tetapi Presiden ECB Christine Lagarde meredam ekspektasi untuk pengurangan biaya pinjaman lagi bulan depan.
ECB hampir pasti harus menunggu hingga Desember sebelum memangkas suku bunga lagi untuk memastikan tidak membuat kesalahan kebijakan dengan melonggarkan terlalu cepat, kata anggota Dewan Gubernur ECB Peter Kazimir.
Bank of England diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuannya pada 5,0 persen, setelah memulai pelonggarannya dengan penurunan suku bunga sebesar 25 bp pada Agustus.
"Pasar berjangka memperkirakan peluang penurunan suku bunga seperempat poin sebesar sekitar 35,9 persen pada Kamis, dibandingkan peluang 20 persen pada Jumat," jelas Ibrahim.
Indonesia cetak surplus perdagangan lagi
Neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami surplus per Agustus 2024 sekaligus mencatatkan surplus 52 bulan beruntun. Tercatat hasil keuntungan perdagangan barang dan jasa atau trade balance Indonesia dengan negara lain membukukan surplus senilai USD2,9 miliar pada Agustus 2024, sejalan dengan meningkatnya ekspor dan impor melambat.
Surplus NPI ditopang oleh komoditas nonmigas yakni bahan bakar mineral atau HS 27, lemak dan minyak hewan nabati (HS 15), serta Besi dan Baja (HS 72). Ekspor nonmigas Indonesia pada Agustus 2024 tercatat mencapai USD22,36 miliar, meningkat 7,43 persen dibandingkan dengan Juli 2024.
"Kenaikan ini terutama ditopang oleh peningkatan
ekspor produk lemak dan minyak nabati, biji logam, serta terak dan abu," papar Ibrahim mengutip laporan BPS.
Secara keseluruhan, ekspor Indonesia pada Agustus mencapai USD23,56 miliar, mengalami kenaikan 5,79?ri bulan sebelumnya. Namun, sektor migas mencatat penurunan, sementara nonmigas mengalami pertumbuhan yang signifikan.
Capaian ini di tengah kondisi pasar utama, seperti Jepang dan Amerika Serikat, yang tengah dalam kondisi Indeks Manufaktur (PMI) mengalami kontraksi. Pada saat yang sama, beberapa komoditas mengalami penurunan harga, terutama di sektor energi, pertanian, dan logam mineral.
"Namun, logam mulia, khususnya emas, mencatat peningkatan harga yang cukup signifikan," ungkap Ibrahim.