BI Dinilai Perlu Pertahankan Suku Bunga, Ini Alasannya

Gubernur BI Perry Warjiyo. Foto: Tangkapan layar YouTube Bank Indonesia.

BI Dinilai Perlu Pertahankan Suku Bunga, Ini Alasannya

Insi Nantika Jelita • 16 July 2025 10:11

Jakarta: Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teuku Riefky memperkirakan Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) pada level 5,50 persen di bulan ini.

Keputusan ini didorong oleh kondisi domestik yang relatif stabil, ditopang oleh inflasi yang masih terkendali. Meski, ketegangan geopolitik global dan kebijakan tarif dari Amerika Serikat (AS) terus menjadi ancaman eksternal.

"Mempertimbangkan perkembangan tersebut, kami menilai BI perlu mempertahankan BI Rate di level 5,50 persen pada rapat dewan gubernur bulan Juli," ujar Riefky dalam keterangan resmi, dikutip Rabu, 16 Juli 2025.

Dia menjelaskan inflasi pada Juni 2025 tercatat sebesar 1,87 persen (year-on-year), naik dari 1,60 persen pada Mei 2025. Meskipun terjadi peningkatan, angka ini masih berada dalam target Bank Indonesia sebesar 1,5 persen sampai 3,5 persen. Kenaikan inflasi terutama didorong oleh kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya, yang mengalami inflasi 9,30 persen (yoy) pada Juni, sedikit meningkat dari 9,24 persen pada Mei.

Jika dilihat lebih terperinci, Riefky menerangkan komoditas perhiasan emas menunjukkan harga yang fluktuatif akibat ketidakpastian global, yang mendorong investor untuk mengurangi berbagai risiko dengan membeli aset safe haven.

Di samping itu, kelompok makanan, minuman, dan tembakau mencatat inflasi sebesar 1,99 persen (yoy) pada Juni 2025, meningkat hampir dua kali lipat dari 1,03 persen (yoy) pada Mei 2025. Kontribusi terbesar berasal dari beras dan ikan, akibat penurunan jumlah pasokan.

Dari sisi neraca perdagangan, setelah sempat menyusut ke level terendah dalam lima tahun terakhir pada April 2025 (USD158 juta), surplus perdagangan kembali menguat menjadi USD4,30 miliar pada Mei 2025. Ini merupakan surplus bulan ke-61 berturut-turut dan naik 45,47 persen dibandingkan Mei 2024 yang sebesar USD2,94 miliar.

Secara kumulatif, surplus perdagangan periode Januari-Mei 2025 mencapai USD15,38 miliar, tumbuh 17,76 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (USD13,06 miliar). Peningkatan ini didorong oleh pertumbuhan ekspor yang melampaui impor. Sementara itu, impor naik 4,14 persen (yoy) menjadi USD20,31 miliar dari USD19,51 miliar, meski menurun 1,32 persen secara bulanan (month-to-month) dibanding April 2025.
 

Baca juga: BI Perlu 'Mengekor' Jika Fed Sunat Suku Bunga, Ini Untungnya Buat Indonesia!
 

Sikap hati-hati The Fed


Riefky menambahkan, dari faktor global, The Federal Reserve (The Fed) masih mempertahankan suku bunga acuannya di kisaran 4,25 persen hingga 4,50 persen sejak Desember 2024. Sikap ini mencerminkan kebijakan moneter yang berhati-hati dan berbasis data, seiring terus dipantau inflasi dan kondisi pasar tenaga kerja di tengah meningkatnya ketidakpastian global akibat kebijakan dagang.

Meskipun data Indeks Harga Konsumen (IHK) AS untuk Juni yang dijadwalkan rilis 15 Juli waktu setempat, pasar memperkirakan inflasi umum akan meningkat sebesar 0,3 persen (mtm) dari 0,1 persen pada Mei. Jika proyeksi ini akurat, inflasi tahunan akan naik menjadi sekitar 2,7 persen (yoy), dari 2,4 persen bulan sebelumnya. Ini berpotensi mencerminkan dampak awal dari kebijakan tarif baru yang diberlakukan sejak April 2025.

Sementara, pada 7 Juli lalu, Presiden AS Donald Trump resmi memberitahukan kepada Pemerintah Indonesia mengenai keputusannya untuk memberlakukan tarif resiprokal sebesar 32 persen. Tingkat tarif tetap tidak berubah dari pengumuman awal pada April 2025, menunjukkan periode negosiasi selama 90 hari gagal menghasilkan penyesuaian apapun.

Pengumuman tersebut, ungkap Riefky, tidak memicu lonjakan penjualan asing di pasar saham Indonesia, mengindikasikan kebijakan ini telah diantisipasi atau diperhitungkan oleh investor.


(Ilustrasi Bank Indonesia. Foto: MI/Ramdani)
 

Rupiah menguat


Meski terdapat arus modal keluar bersih dari pasar obligasi dan saham domestik, nilai tukar rupiah justru menguat sebesar 0,22 persen (mtm) antara 11 Juni hingga 10 Juli 2025, mencapai Rp16.215 per USD. Ini menunjukkan dana asing tidak sepenuhnya dialihkan ke aset berdenominasi dolar, melainkan ke aset safe haven lainnya.

Penguatan ini juga tercermin dari lonjakan harga emas global selama periode tersebut yang naik lebih dari 40 persen dibandingkan tahun sebelumnya, menandakan meningkatnya permintaan global terhadap aset rendah risiko. Sementara itu, indeks Dolar AS (DXY) melemah dari 98,63 ke 97,65, mengindikasikan penurunan nilai dolar secara global.

"Dengan mempertimbangkan stabilitas domestik, tekanan eksternal, dan dinamika pasar global, BI dinilai perlu memprioritaskan stabilitas nilai tukar dan mempertahankan suku bunga acuan," jelas Riefky.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)