Bedah Editorial MI: Tidak Usah Malu Miskin

13 June 2025 09:10

ADA petuah bijak yakni angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi. Namun, ungkapan tersebut tidak berhenti begitu saja. Angka bisa disalahgunakan bahkan dimanipulasi untuk menghadirkan kesan yang amat jauh dari kenyataan.   

Angka ibarat senjata, semua ditentukan oleh siapa yang menggunakannya. Di tangan orang jujur angka akan mampu menjelaskan realitas. Sebaliknya, di tangan manusia culas, angka bisa dibengkokkan untuk mengamini kebohongan. 

Namun, angka tidak selalu ditentukan hanya dalam posisi binari antara orang jujur dan orang culas. Bisa saja orang jujur yang tidak memiliki motivasi jahat tetapi kurang cermat dalam mengolah angka sehingga berakibat salah memaknai realitas yang begitu kompleks.

Itu berarti pemahaman bahwa angka tidak pernah berbohong mensyaratkan pula ketelitian, pemahaman metodologi, dan kecermatan melihat konteks. Sebab angka yang benar secara hitungan belum tentu benar dalam menggambarkan kenyataan.

Hal itulah yang menjadi harapan publik terhadap Badan Pusat Statistik (BPS) terkait dengan penerapan standar kemiskinan di Indonesia. Terdapat jurang yang begitu menganga antara data BPS dan Bank Dunia mengenai jumlah orang miskin di Republik ini.
 

Baca: Garis Kemiskinan Dinilai Sudah Tidak Realistis, BPS Mesti Pakai Standar Bank Dunia!
 


Data resmi BPS menunjukkan tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57% atau sekitar 24,06 juta jiwa dari total  285,1 juta penduduk Indonesia. Sebaliknya, Bank Dunia menyebutkan jumlah orang miskin di Indonesia 68% lebih penduduk atau 194,4 juta. 

Data Bank Dunia membuat mata terbelalak. Betapa mengerikan ternyata dua dari tiga penduduk Indonesia berdasarkan standar global hidup dalam kemiskinan. Jumlahnya  bukan sekadar besar melainkan sangatlah tambun dan teramat mengejutkan.

Perbedaan data antara BPS dan Bank Dunia ini terjadi setelah organisasi internasional itu resmi mengadopsi penghitungan (PPP atau paritas daya beli) 2021 dalam menentukan garis kemiskinan. Bank Dunia sebelumnya masih menggunakan penghitungan PPP 2017.

Dalam dokumen (PIP) edisi Juni 2025, Bank Dunia secara resmi merevisi ke atas tiga lini garis kemiskinan. Pertama ialah standar tingkat kemiskinan ekstrem US$2,15 per kapita per hari dinaikkan menjadi US$3 per kapita per hari.

Kedua, revisi tingkat kemiskinan (LMIC). Standar awal Bank Dunia US$3,65 per kapita per hari  diubah ke angka US$4,20 per kapita per hari. Terakhir perubahan garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah atas atau (UMIC), dari US$6,85 menjadi US$8,30 per kapita per hari. Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas, masuk kategori terakhir.

Penerapan PPP 2021 jelas berimplikasi pada revisi garis kemiskinan global. Oleh karena itu, kita mendorong agar pemerintah dan BPS tidak takut untuk menaikkan standar atau ukuran kemiskinan agar mendekati standar Bank Dunia. 

Tujuannya agar penanganan dan program-program mengentaskan masyarakat dari kemiskinan bisa lebih tepat sasaran dan terarah. Meningkatkan ambang batas kemiskinan bukan berarti mengakui kegagalan, melainkan sebuah lompatan besar dalam melihat realitas secara lebih jujur dan adil.

Pada akhirnya menjadi orang jujur terhadap angka dan cermat dalam melihat konteks memang membutuhkan keberanian. Tidak usah malu mengaku miskin, asalkan kemudian ada sederet kebijakan tepat yang diambil dari data yang akurat. Dengan begitu, ikhtiar untuk menghilangkan kemiskinan setelah hampir 80 tahun kemerdekaan bukan sekadar kenyataan di atas kertas, tapi fakta di lapangan secara jelas dan tuntas. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Gervin Nathaniel Purba)