Begini Asal-usul Mitos Orang Jawa Tidak Boleh Menikah dengan Orang Sunda

Zein Zahiratul Fauziyyah • 25 September 2025 12:00

Jakarta: Mitos bahwa orang Jawa tidak boleh menikah dengan orang Sunda masih bertahan hingga kini, terutama di kalangan masyarakat Sunda tradisional. Keyakinan ini sering dikaitkan dengan anggapan bahwa pernikahan lintas etnis tersebut akan membawa kesialan, kemelaratan, atau rumah tangga yang tidak harmonis. 

Walau tidak semua orang Sunda mempercayainya, mitos ini terus diwariskan secara turun-temurun. Untuk memahami akar mitos tersebut, kita perlu menelusuri sejarah panjang konflik antara dua kerajaan besar yaitu Majapahit di Jawa dan Sunda di Tatar Pasundan seperti dirangkum dari Jurnal "Pernikahan Campuran Sunda-Jawa: Antara Tradisi dan Mitos Dalam Perspektif Masyarakat Modern" karya Nazwa Wafiq Nur Azizah dan Mirna Nur Alia Abdullah. 
 

Baca: Jamu Diakui UNESCO Sebagai Warisan Budaya Dunia? Ini Sejarahnya

Latar Belakang Sejarah: Perang Bubat

Asal-usul mitos ini tidak bisa dilepaskan dari Perang Bubat, peristiwa tragis pada abad ke-14 yang melibatkan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda.

Raja Majapahit, Hayam Wuruk, berniat menikahi putri Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi. Putri ini dikenal memiliki paras menawan dan rencana pernikahan dipandang sebagai langkah diplomasi yang dapat mempererat hubungan politik dua kerajaan. Namun, keputusan bahwa prosesi pernikahan akan dilaksanakan di Majapahit menimbulkan kontroversi. Dalam adat Sunda, lazimnya pihak laki-laki yang datang melamar, bukan sebaliknya.

Meski ada keberatan, Raja Sunda Prabu Linggabuana tetap datang ke Majapahit dengan membawa Dyah Pitaloka, permaisuri, pejabat, dan sejumlah kecil pengawal. Mereka ditempatkan di Pesanggrahan Bubat, tak jauh dari pusat kekuasaan Majapahit.

Intervensi Gajah Mada

Patih Gajah Mada memandang momen ini sebagai peluang untuk menyempurnakan Sumpah Palapa, yakni tekadnya menaklukkan seluruh Nusantara di bawah Majapahit. Ia menafsirkan kedatangan rombongan Sunda bukan sebagai persiapan pernikahan, melainkan bentuk penyerahan diri. Hayam Wuruk menolak tafsir tersebut, tetapi Gajah Mada tetap bersikeras dan memobilisasi pasukan Bhayangkari untuk mengepung rombongan Sunda.

Pertempuran Tragis

Ketika tuntutan Gajah Mada disampaikan, pihak Sunda merasa dikhianati. Perselisihan pun berubah menjadi pertempuran yang tidak seimbang. Pasukan Majapahit yang besar melawan jumlah kecil prajurit Sunda. Prabu Linggabuana gugur bersama sebagian besar pengawal dan pejabat kerajaan. Dalam situasi terjepit itu, Dyah Pitaloka memilih bela pati (bunuh diri) untuk menjaga kehormatan keluarga dan bangsanya.

Peristiwa ini menimbulkan duka mendalam, baik bagi Sunda maupun Majapahit. Hayam Wuruk menyesali kejadian tersebut, namun nasi telah menjadi bubur. Sejarah mencatat tragedi itu sebagai noda hitam dalam hubungan antarkerajaan.
 
Baca: Mengungkap Fakta di Balik Segitiga Bermuda

Dari Aturan Istana Menjadi Larangan Sosial

Adik Dyah Pitaloka, Pangeran Niskalawastu Kancana, yang tidak ikut ke Majapahit, kemudian naik takhta. Dengan trauma mendalam atas tragedi keluarganya, ia membuat keputusan politik penting yaitu memutus hubungan dengan Majapahit dan melarang bangsawan Sunda menikah dengan orang Jawa.

Awalnya, larangan ini hanya berlaku di lingkungan istana. Namun seiring waktu, aturan tersebut menyebar ke masyarakat luas dan dipersepsikan sebagai pantangan adat. Dari sinilah mitos “orang Sunda tidak boleh menikah dengan orang Jawa” mulai mengakar.

Luka Kolektif dan Sentimen Antarsuku

Selain menjadi aturan, tragedi Bubat juga menimbulkan luka batin kolektif. Kisah pengkhianatan dan keberanian Sunda melawan dominasi Majapahit diwariskan melalui naskah kuno seperti Kidung Sunda atau Kidung Sundayana. Di Bali, karya tersebut bahkan dipandang sebagai penghormatan terhadap keberanian Sunda.

Di Jawa sendiri, peristiwa Bubat justru membuat reputasi Gajah Mada diperdebatkan. Walaupun ia dikenal sebagai tokoh besar pemersatu Nusantara, tindakannya di Bubat dinilai merusak citra kebijaksanaannya.

Bertahannya Mitos hingga Kini

Seiring pergantian zaman, mitos ini tetap hidup. Tidak sedikit orang tua Sunda yang menolak jika anaknya menikah dengan orang Jawa, meskipun alasan yang dipakai lebih pada keyakinan spiritual ketimbang bukti historis. Beberapa versi mitos bahkan menambahkan narasi bahwa pernikahan Jawa-Sunda akan berakhir dengan kesialan atau kemiskinan.
 
Baca: Mengenal Warisan Budaya Jawa Timur Reog Ponorogo

Namun, sebagian sejarawan berpendapat bahwa larangan ini hanyalah interpretasi berlebihan dari tragedi Bubat. Bahkan ada anggapan bahwa kolonial Belanda turut memperkuat sentimen ini sebagai strategi politik pecah belah (divide et impera) di antara kelompok etnis di Nusantara.

Mitos larangan pernikahan Jawa-Sunda berakar dari tragedi Perang Bubat, ketika ikatan politik yang seharusnya terjalin melalui pernikahan berubah menjadi pertumpahan darah. Larangan pernikahan yang semula hanya berlaku di lingkungan istana Sunda kemudian berkembang menjadi aturan sosial dan akhirnya menjadi mitos.

Hingga kini, mitos ini masih bertahan dalam sebagian masyarakat, meski zaman sudah berubah. Sejarawan menekankan bahwa mitos tersebut lebih tepat dipandang sebagai warisan sejarah dan simbol trauma kolektif, bukan aturan adat yang mutlak.

Jangan lupa saksikan MTVN Lens lainnya hanya di Metrotvnews.com. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Zein Zahiratul Fauziyyah)