Podium MI: Kesalehan Digital

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.

Podium MI: Kesalehan Digital

Abdul Kohar • 12 November 2025 05:39

LEDAKAN di sebuah SMA di Jakarta yang diduga dilakukan salah satu murid di sekolah tersebut menegaskan fakta bahwa residu media sosial (medsos) nyata adanya. Itu bukan omong kosong, apalagi sekadar menakut-nakuti. Wajah dari sisi negatif medsos menampakkan diri di Jakarta Utara itu.

Kendati motif peledakan masih dalam penyelidikan, sejumlah temuan awal menunjukkan kaitan erat antara aksi tersebut dan paparan negatif medsos. Khususnya, dalam hal meningkatnya spiral kekerasan dan munculnya gangguan kesehatan mental pada remaja.

Karena itu, saya jadi amat mafhum mengapa Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti kerap menyerukan ajakan kepada anak-anak, remaja, orangtua, dan semua untuk mempraktikkan 'kesalehan digital'. Diksi itu asli 'produksi' Abdul Mu'ti. Istilah tersebut merujuk pada penggunaan teknologi digital, baik itu medsos maupun gim online, secara baik, proporsional, dan penuh tanggung jawab.

Mungkin Mu'ti terinspirasi oleh koleganya di Muhammadiyah, Moeslim Abdurrahman (almarhum), yang mengenalkan gagasan Islam transformatif. Gagasan itu di dalamnya menekankan perlunya 'kesalehan sosial' setelah 'kesalehan individual'. Moeslim saat itu (1990-an) khawatir, kepekaan umat Islam hanya pada hal-hal yang bersifat ibadah personal dan 'ukhrawi' (kesalehan individual), dengan menegasikan kepekaan sosial. Itulah mengapa ia mengenalkan istilah 'kesalehan sosial'.

Baca juga: Berkaca dari Kasus Ledakan di SMAN 72, Ini Dampak Negatif Medsos bagi Remaja

Kini, dua kesalehan itu ternyata tidak cukup untuk mengawal zaman. Pada era dunia digital dengan algoritmanya kerap 'menjajah' manusia, pada masa mesin dan kecerdasan buatan (AI) mengancam martabat kemanusiaan, kesalehan digital mesti digemakan. Ia merupakan upaya mengikis mudarat dunia digital, khususnya medsos.

Pada forum Konferensi Umum ke-43 UNESCO di Samarkand, Uzbekistan, pekan lalu, Abdul Mu'ti juga menggemakan pentingnya 'kesalehan digital' itu. Dalam pidatonya ia menyebut Indonesia terus mengembangkan kebijakan open science serta mendukung upaya penerapan etika kecerdasan artifisial dan kesalehan digital agar transformasi digital tetap berpihak pada manusia dan menghormati martabatnya.

Saya yakin, kita semua sepakat dengan seruan Abdul Mu'ti itu. Apalagi, jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2025 sudah mencapai sekitar 229,4 juta jiwa. Angka itu menunjukkan penetrasi internet sebesar 80,66% dari total populasi. Peningkatan tersebut terus berlanjut dari tahun-tahun sebelumnya, dengan pertumbuhan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Apalagi, rata-rata penggunaan media sosial per hari di Indonesia ialah sekitar 3 jam 11 menit, berdasarkan laporan We are Social 2024. Durasi itu lebih lama ketimbang rata-rata waktu yang dihabiskan secara global yang 2 jam 21 menit per hari. Itu artinya, potensi kian menggunungnya residu medsos dan dunia digital di negeri ini amat sangat sulit disangkal.

Ilustrasi medsos. Foto: Freepik.

Angka itu sekaligus menunjukkan potensi bagi munculnya gangguan pada kesehatan mental, khususnya bagi anak-anak dan remaja, kian membesar. Beberapa riset sudah menunjukkan penggunaan medsos yang berlebihan dapat berdampak negatif pada remaja, termasuk risiko kesehatan mental mereka.

Penelitian yang dilaporkan dalam jurnal Chen, pada tahun lalu, menemukan remaja yang menggunakan medsos lebih dari 3 jam per hari berisiko tinggi terhadap masalah kesehatan mental, terutama masalah internalisasi alias citra diri. Selain itu, sebuah studi yang dilakukan Primack (2017) menunjukkan penggunaan medsos yang tinggi ada kaitannya dengan peningkatan gejala depresi dan kecemasan pada remaja. Hal tersebut disebabkan berbagai faktor, termasuk perbandingan sosial dan cyber-bullying (perundungan siber).

Perbandingan sosial terjadi ketika individu membandingkan diri mereka dengan orang lain, yang sering kali berakibat pada rasa tidak percaya diri. Remaja sering kali terpapar oleh gambar-gambar ideal yang ditampilkan di media sosial, yang dapat membuat mereka merasa kurang menarik atau tidak berharga. Sebuah penelitian oleh Tiggemann & Slater menemukan remaja yang lebih sering menggunakan media sosial cenderung merasa lebih buruk tentang penampilan fisik mereka.

Sementara itu, cyber-bullying merupakan fenomena lain yang berkembang seiring dengan popularitas media sosial. Remaja yang menjadi korban perundungan siber sering mengalami stres, kecemasan, dan bahkan depresi. Menurut penelitian Kowalski, dampak psikologis dari perundungan siber bisa sangat merusak, sering kali menyebabkan masalah emosional yang serius.

Tidak hanya itu, survei lainnya yang dilakukan Anderson & Jiang menunjukkan satu dari enam remaja telah mengalami setidaknya satu dari enam bentuk perilaku penganiayaan online. Bentuknya macam-macam, dari panggilan nama, menyebarkan rumor palsu, menerima gambar eksplisit yang tidak diminta, serta mendapat ancaman fisik.

Namun, hal yang memperparah kondisi tersebut ialah para remaja menganggap hal-hal negatif yang terjadi di medsos itu merupakan hal yang lumrah dan sudah menjadi risiko dari bermain medsos. Jika normalisasi ekses negatif itu terus terjadi, kerusakan mental secara lebih dalam dan serius juga pasti bakal terjadi.
Baca juga: KPAI-Komdigi Berkoordinasi Awasi Medsos dan Gim Pada Anak

Karena itu, ajakan baik membangun kesalehan digital maupun mencegah kerusakan lebih parah dari berbagai kalangan kiranya harus serius diperhatikan. Anjuran untuk mulai membatasi waktu penggunaan medsos atau gim online yang banyak mengumbar adegan kekerasan mesti dipertimbangkan. Apalagi, penelitian yang dilakukan Hunt menunjukkan penggunaan medsos yang lebih sedikit berkorelasi dengan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi, seperti peningkatan mood, bahkan hingga mengurangi tingkat depresi.

Selain dengan membatasi waktu, dukungan sosial atau lingkungan sekitar merupakan aspek penting untuk mencegah munculnya dampak negatif dari penggunaan medsos. Mengembangkan jaringan dukungan di luar medsos, seperti teman-teman dan keluarga, akan memberikan stabilitas emosional yang diperlukan dan membantu orang-orang merasa lebih terhubung secara nyata, bukan hanya virtual.

Peran orangtua juga tak kalah penting. Gempuran era medsos yang terjadi saat ini mesti dibarengi dengan peran orangtua untuk untuk memastikan anak-anak mereka menggunakan medsos secara positif. Tidak jarang konsumsi medsos remaja itu muncul karena mencontoh orangtua mereka yang enggak kalah nyandu medsos.

Tepat kiranya kaidah dalam prinsip-prinsip aturan dasar di agama Islam (ushul fiqh) dipakai dalam rumus menegakkan kesalehan digital itu. Kaidah tersebut berbunyi: dar'ul mafaasid, muqaddam 'alaa jalbil mashaalih (mencegah mudarat harus didahulukan daripada mengambil manfaat).

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Anggi Tondi)