Ilustrasi. Data Polri soal kekerasan seksual pada anak. Dok. Metro TV
M Rodhi Aulia • 22 May 2025 11:38
Jakarta: Edukasi seksual sejak usia dini dinilai semakin mendesak di tengah makin terbukanya akses anak terhadap berbagai bentuk konten menyimpang. Edukasi ini bukan semata soal mengenal bagian tubuh, tetapi membangun pemahaman anak tentang batasan, rasa aman, dan hak atas tubuhnya sendiri.
Pakar pendidikan anak dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, Holy Ichda Wahyuni, menekankan bahwa pengetahuan dasar ini adalah benteng pertama anak dari ancaman kekerasan seksual.
“Orang tua dan pendidik perlu menyadari satu hal yang teramat krusial, bahwa ruang aman anak-anak semakin terkikis, bahkan dari tempat yang seharusnya menjadi paling suci dan aman: rumah dan keluarga,” kata Holy, dikutip dari situs resmi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Kamis, 22 Mei 2025.
Namun, banyak orang tua justru menghindari percakapan soal seksualitas karena dianggap tabu. Ada pula yang merasa canggung, takut bicara terlalu dini, atau menganggap anak belum waktunya tahu.
“Sayangnya, banyak orang tua yang masih merasa canggung, takut, atau bahkan menolak berbicara soal ini. Padahal, ketidaktahuan justru membuat anak menjadi rentan,” jelasnya.
Baca juga: Apa Itu Inses? Definisi dan Perspektif Ilmiah Fenomena Hubungan Sedarah
Kesalahan umum lainnya adalah menganggap pendidikan seksual hanya perlu dilakukan saat anak memasuki usia remaja. Padahal, menurut Holy, anak usia dini justru berada di tahap krusial untuk dikenalkan pada konsep privasi tubuh dan kemampuan berkata “tidak” terhadap sentuhan tidak pantas, termasuk dari orang dewasa.
“Edukasi seksual bukan cuma soal anatomi, tapi juga soal batasan, rasa aman, dan hak untuk menolak,” ujarnya.
Holy juga menyoroti bahwa banyak kasus kekerasan seksual pada anak justru dilakukan oleh orang-orang terdekat. Ayah kandung, paman, atau tetangga adalah pelaku yang sering muncul dalam berbagai laporan kasus. Karena pelaku dikenal, anak kerap merasa terjebak dalam rasa takut dan bingung harus bicara ke siapa.
“Banyak kekerasan seksual terhadap anak justru terjadi dari orang-orang terdekat. Rasa takut, tekanan, dan ancaman membuat anak-anak memilih bungkam pada trauma mereka,” kata Holy.
Fenomena ini makin mengkhawatirkan saat ruang digital turut menjadi tempat tumbuhnya konten menyimpang. Salah satunya seperti grup Facebook “Fantasi Sedarah” yang belakangan viral. Grup ini memuat candaan, cerita, dan fantasi seksual yang melibatkan hubungan sedarah.
Menurut Holy, grup semacam ini menjadi bukti bahwa normalisasi penyimpangan bisa terjadi jika tidak ada benteng literasi dan edukasi sejak awal.
“Justru karena kita terlalu lama bungkam, predator itu leluasa mencari celah. Kita tak bisa lagi menunda edukasi seksual sejak dini,” tegasnya.
Holy juga mengingatkan, penting bagi orang tua untuk menjadi pendengar yang aman bagi anak-anak. Ketika anak merasa nyaman bercerita, maka potensi kekerasan bisa lebih dini terdeteksi.
“Orang tua hari ini tidak cukup hanya menjadi penyedia sandang dan pangan. Mereka juga harus menjadi tempat yang aman untuk berbagi cerita, keluhan, dan ketakutan,” jelasnya.
Ia menambahkan, gejala trauma pada anak seringkali tidak disadari. Perubahan perilaku seperti mendadak pendiam, takut bertemu seseorang, atau menolak disentuh bisa jadi sinyal bahwa anak pernah mengalami kekerasan seksual.
“Perubahan ini sering disalahartikan sebagai fase pubertas atau kenakalan. Padahal bisa jadi itu respon alami anak yang sedang menghadapi trauma,” katanya.
Kasus “Fantasi Sedarah” menjadi alarm keras bagi masyarakat. Menutup-nutupi kekerasan seksual demi nama baik keluarga justru membuat siklus kekerasan terus berulang.
“Banyak kasus kekerasan seksual yang disembunyikan demi menjaga nama baik keluarga. Padahal ini hanya akan memperpanjang lingkaran kekerasan,” pungkas Holy.