Ilustrasi sidang MK. Foto: MI/Devi Harahap.
Jakarta: Anggota Komisi III DPR Sarifuddin Sudding menegaskan aparat penegak hukum tidak dapat secara sembarangan menjerat seseorang dengan Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor. Hal itu disampaikan Sudding dalam sidang Perkara Nomor 71/PUU-XXIII/2025 tentang gugatan UU Tipikor di Mahkamah Konstitusi.
“Proses penegakan hukum terhadap penerapan pasal a quo (21) telah dibatasi dengan mekanisme yang diatur dalam ketentuan hukum pidana maupun hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia,” ujar Sarifuddin saat dikutip dari Media Indonesia, Rabu, 16 Juli 2025.
Dia menjelaskan aparat penegak hukum harus terlebih dahulu membuktikan perbuatan seseorang tersebut telah secara jelas dan nyata mengandung unsur kesalahan. Apabila seseorang merasa dalam perbuatannya tidak terdapat unsur kesalahan, maka terdapat mekanisme pemeriksaan di persidangan yang dapat digunakan untuk pembelaan.
“Sehingga tidak tepat dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan dalam pasal a quo telah memberikan kesempatan bagi aparat penegak hukum untuk dapat melakukan tindakan yang semena-mena (abuse of power). Mengingat dalam kerangka hukum secara umum, aparat penegak hukum itu sendiri sudah diberikan batasan-batasan yang jelas dan nyata dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya,” ungkap dia.
Sarifuddin menilai, sebagai tindak pidana yang sangat mempengaruhi sendi-sendi sektor kehidupan suatu negara dan masyarakat, proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi harus dapat dilakukan tidak hanya secara efektif dan efisien. Namun, penerapannya juga harus maksimal.
“Dalam hal ini, keberadaan pasal a quo dihadirkan untuk memastikan tidak ada pihak yang dapat melakukan hambatan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penegakan hukum pada tindak pidana korupsi, termasuk dalam tahap penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di sidang pengadilan,” sebut dia.
Di samping itu, Sarifuddin mengungkapkan frasa langsung atau tidak langsung dalam ketentuan pasal 21 tersebut memiliki makna strategis dalam penegakan hukum. Sebab, mencakup berbagai bentuk perbuatan, baik yang tanpa secara eksplisit seperti mengancam atau menyuap saksi maupun yang terselubung seperti mempengaruhi melalui perantara, menyebar disinformasi, atau melakukan tekanan sosial dan/atau politik.
Dengan frasa ini, terbentuk suatu konstruksi hukum yang tidak memberikan celah bagi pelaku bersembunyi di balik tindakan yang tampaknya tidak secara eksplisit melakukan upaya perintangan. Namun, substansinya tetap menghambat proses peradilan.
“Ini juga menegaskan bahwa dalam konteks pemberantasan korupsi, segala bentuk intervensi yang melemahkan integritas proses hukum akan dianggap serius dan dapat dipidana, meskipun dilakukan secara tidak langsung,” ujar dia.
Atas dasar itu, Ia menilai keberadaan frasa langsung atau tidak langsung masih relevan dalam upaya penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi hingga saat ini.
Selain itu, Sarifuddin mengenaskan apabila ketentuan frasa langsung atau tidak langsung dihilangkan atau dimaknai tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka dapat membuat proses penegakan hukum pada bidang tindak pidana korupsi menjadi terhambat karena menyempitkan konteks penerapan hukum pasal 21 tersebut.
“Sedangkan bentuk dan modus operandi dari tindak pidana korupsi itu sendiri, terus berkembang hingga saat ini,” sebut dia.
Permohonan yang diajukan oleh seorang Advokat ini menggugat Pasal 21 dan Penjelasan Pasal 21 UU Tipikor. Pemohon menilai frasa atau tidak langsung pada rumusan norma pasal beserta penjelasannya yang diuji tersebut berpotensi menjerat setiap warga negara yang menyuarakan opini publik atau melakukan kontrol sosial melalui media massa, seminas, diskusi kampus, demonstrasi, konferensi pers, dan lain-lain.
Pasal 21 UU Tipikor menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus limpa puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.