Ilustrasi. Foto: Medcom
Siti Yona Hukmana • 3 December 2024 08:07
Jakarta: Pengajar Perlindungan Anak di Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Poltekip), Imaduddin Hamzah, menyoroti fenomena anak bunuh keluarga yang terjadi akhir pekan ini. Menurutnya, pasti ada pemicu dari tindak pidana itu.
"Dalam beberapa kasus kejahatan pembunuhan ada dua hal berperan, satu ada pemicunya atau pencetus (bisa pertengkaran, dimaki, dipukul, dan lain-lain)," kata Imaduddin kepada Metrotvnews.com, Selasa, 3 Desember 2024.
Kemudian, peran kedua ialah predisposisi. Imaduddin menyebut hal ini berkaitan dengan kecenderungan awal pelaku punya dendam, konflik, trauma, sifat agresif, emosi tidak stabil, dan lain sebagainya.
"Nah itu yang perlu diintenfikasi oleh tim psikologi forensik Kepolisian," kata dosen Poltekip, bidang khusus Psikologi Narapidana dan Kesehatan Mental, Perlindungan Anak itu.
Ada dua kasus anak bunuh keluarga terjadi beberapa waktu lalu. Pertama, remaja berinisial MAS, 14 menusuk ayahnya, APW, 40; neneknya, RM, 69; dan ibunya, AP, 40 di kediamannya Cilandak Jakarta Selatan pada Sabtu, 30 November 2024 pukul 01.00 WIB. Akibatnya, ayah dan nenek tewas, serta ibu dirawat di RS Fatmawati atas sejumlah luka yang dialami.
Kasus kedua terjadi di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat pada Minggu, 1 Desember 2024 pukul 21.30 WIB. Seorang anak bernama Nikson Pangaribuan, 41 tega membunuh ibu kandungnya, Herlina Sianipar, 61 menggunakan tabung gas 3 kg.
Kasus ini menggemparkan warga. Sebab Nikson merupakan anggota polisi aktif yang dinas di salah satu polres di wilayah hukum Polda Metro Jaya.
Imaduddin mengatakan polisi masih mengidentifikasi motif dan latar belakang psikologis kedua pelaku dalam kasus tersebut. Namun, fenomena remaja dan anak bunuh orang tua disebut parricide atau istilah dalam kriminologi yang mengacu pada tindakan pembunuhan terhadap orang tua atau kerabat dekat.
"Sebenarnya kasus yang kompleks dan melibatkan berbagai faktor psikologis, sosial, dan lingkungan," ujar dia.
Imaduddin menuturkan berbagai riset tentang fenomena ini, secara konseptual dapat dilatarbelakangi oleh adanya pola pengasuhan dan kekerasan dalam keluarga. Baik menjadikan anak korban kekerasan fisik, emosional, atau seksual dari orang tua yang sering kali mengalami trauma mendalam dan dapat memicu perilaku agresif sebagai respons terhadap perlakuan tersebut.
Imaduddin menyebut faktor lain yang mempengaruhi adalah hubungan yang disfungsional. Berupa konflik berkepanjangan dalam keluarga tanpa resolusi yang sehat. Hal itu dinilai dapat memicu tindakan agresif sebagai pelarian dari situasi yang dianggap anak tidak tertahankan.
"Yang menarik, banyak penelitian menunjukkan bahwa banyak pelaku parricide memiliki gangguan mental, seperti skizofrenia, gangguan bipolar, atau gangguan kepribadian antisosial serta ketidakmampuan mengelola emosi," ungkapnya.
Khusus anak bermasalah yang masih usia remaja, Imaduddin memandang sering kali belum memiliki keterampilan pengelolaan emosi yang matang. Sehingga, mereka lebih rentan terhadap tindakan impulsif saat marah atau frustrasi.
Dalam situasi itu, tidak bisa diabaikan faktor pengaruh sosial, seperti tekanan teman sebaya atau kelompok sosial yang negatif dapat memengaruhi remaja untuk mengambil tindakan yang ekstrem. Termasuk ide kekerasan di media, seperti konten media yang menormalisasi atau memuliakan kekerasan dapat membentuk pola pikir bahwa kekerasan adalah solusi yang dapat diterima.
"Anak dalam kasus ini berusia remaja. Tentu dinamika psikologis usia remaja, yang masih mengalami krisis identitas dan konflik dengan orang tua yang sering kali terjadi karena perbedaan nilai," katanya.
Lebih lanjut, Imaduddin menyebut ada riset lain tentang
parricide yang menunjukkan bahwa motivasi utama pelaku yakni sering kali melibatkan berbagai faktor bersamaan. Mulai dari trauma, gangguan psikologis, dan lingkungan keluarga yang disfungsional.
"
Parricide sering terjadi di rumah dengan riwayat kekerasan domestik," pungkas dia.