Ilustrasi rupiah. Foto: Metrototvnews.com/Eko Nordiansyah.
Husen Miftahudin • 11 December 2025 10:22
Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pembukaan perdagangan hari ini mengalami penguatan.
Mengutip data Bloomberg, Kamis, 11 Desember 2025, rupiah hingga pukul 10.14 WIB berada di level Rp16.670 per USD. Mata uang Garuda tersebut menguat 18 poin atau setara 0,11 persen dari Rp16.688 per USD pada penutupan perdagangan sebelumnya.
Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah pada waktu yang sama berada di level Rp16.683 per USD. Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah pada hari ini akan bergerak secara fluktuatif, meski demikian rupiah diprediksi akan kembali melemah.
"Untuk perdagangan hari ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.680 per USD hingga Rp16.720 per USD," jelas Ibrahim.
Fed pangkas suku bunga
Adapun, bank sentral AS Federal Reserve memutuskan untuk memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bp) menjadi kisaran 3,50 persen hingga 3,75 persen. Perlambatan penciptaan lapangan kerja dan kenaikan tingkat pengangguran dalam beberapa bulan terakhir menjadi sebab utamanya.
"Dalam mempertimbangkan besaran dan waktu penyesuaian tambahan terhadap kisaran target
suku bunga dana federal, Komite akan dengan cermat menilai data yang masuk," kata Komite Pasar Terbuka Federal dalam sebuah pernyataan.
Keputusan ini pun menuai tiga perbedaan pendapat. Presiden Fed Chicago Austan Goolsbee dan Presiden Fed Kansas City Jeffrey Schmid berpendapat suku bunga acuan seharusnya tidak diubah, sementara Gubernur Fed Stephen Miran kembali menganjurkan penurunan yang lebih besar, yaitu setengah poin persentase.
Selain itu, proyeksi baru yang dikeluarkan setelah penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin oleh bank sentral AS menunjukkan rata-rata pembuat kebijakan hanya memperkirakan satu kali penurunan seperempat poin persentase pada 2026, prospek yang sama seperti pada September.
(Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Foto: MI/Susanto)
Waspada risiko ekonomi global ke depan
Sementara di sisi lain, Bank Indonesia (BI) menyampaikan sejumlah risiko yang perlu diwaspadai dampaknya terhadap ekonomi global ke depan, terutama terkait dengan perilaku agresif lembaga keuangan non-bank.
BI menyebutkan lima risiko utama yang menghantui prospek ekonomi global di masa mendatang. Salah satu yang menjadi sorotan utama yaitu kerentanan pasar keuangan akibat perilaku institusi non-bank.
BI memaparkan bagaimana lembaga-lembaga non-bank kini semakin berani memanfaatkan utang pemerintah negara maju sebagai aset dasar (
underlying) untuk menciptakan produk derivatif yang kompleks. Masalahnya, praktik berisiko tinggi ini dilakukan tanpa pengaturan margin dan permodalan yang memadai.
Sebagai pengingat, krisis 2008 diawali oleh kredit macet sektor properti AS yang menumbangkan sejumlah korporasi keuangan, termasuk Lehman Brothers. Salah satu praktik yang menjadi rahim dari krisis adalah keputusan perbankan yang mengumpulkan dana simpanan tetapi tidak disalurkan dalam bentuk kredit.
Sebaliknya, bank justru menciptakan hipotek dan mendistribusikannya melalui sekuritas berbasis hipotek dan kewajiban utang yang dijaminkan. Celakanya, sekuritas berbasis hipotek dan kewajiban utang yang dijaminkan itu dimanfaatkan oleh peminjam subprime, yakni individu dengan riwayat peringkat kredit buruk sehingga risiko default sangat besar. Adapun, peringatan BI terkait risiko krisis seperti 2008 bukan tanpa dasar.
Berdasarkan catatan BI, risiko dari NBFIs tersebut diperparah oleh kondisi utang publik global yang sudah mencapai level 'lampu merah. Data menunjukkan total utang pemerintah dunia telah menembus angka USD110,9 triliun atau setara dengan 94,6 persen dari PDB global.
"Lonjakan utang yang didominasi negara maju ini menjadi bahan bakar bagi volatilitas suku bunga global, yang pada akhirnya menambah beban berat bagi negara berkembang," ucap Ibrahim mengingatkan.