Ketua DPP Partai NasDem Taufik Basari (Tobas). Dok. Tangkapan Layar
Achmad Zulfikar Fazli • 6 July 2025 14:33
Jakarta: Ketua DPP Partai NasDem Taufik Basari (Tobas) menyatakan tidak ada sistem pemilu yang ajeg dan konstan di seluruh dunia. Hal ini ia sampaikan sebagai respons terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 yang dapat menimbulkan krisis konstitusional dan mengunci ruang perkembangan sistem pemilu ke depan.
"Sistem pemilu mestinya harus terbuka pada perkembangan zaman. Contohnya, apabila ternyata secara teknologi kita telah mampu menggunakan e-voting pada pemilu 2029, apakah persoalan yang diputus dalam Putusan MK dan Amar Putusan MK masih relevan?" ujar Tobas dalam keterangannya, Minggu, 6 Juli 2025.
Putusan MK No. 135 tersebut memutuskan pemilihan kepala daerah (pilkada) dan anggota DPRD dilaksanakan dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden dan wakil presiden atau anggota DPR dan DPD.
Menurut Tobas, amar putusan tersebut justru menimbulkan persoalan konstitusional yang sangat krusial karena berpotensi melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, baik jika putusan tersebut dilaksanakan maupun tidak dilaksanakan.
Dia menjelaskan apabila Putusan MK itu dijalankan pembuat undang-undang, akan terjadi pelanggaran terhadap Pasal 22E ayat (1) dan (2) serta Pasal 18 ayat (3) UUD NRI 1945, yang secara tegas menyatakan pemilihan umum harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan bahwa anggota DPRD harus dipilih melalui pemilu.
"Apabila pemilu DPRD ditunda hingga dua tahun atau lebih dari masa jabatan lima tahun, maka akan terjadi masa jabatan anggota DPRD yang tidak memiliki legitimasi demokratis. Ini inkonstitusional, karena mereka menduduki jabatan politik tanpa dipilih rakyat," tegas dia.
Sebaliknya, jika Putusan MK tersebut tidak dilaksanakan, pembentuk undang-undang, yaitu Presiden dan DPR, dinilai melanggar Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, yang menyatakan putusan MK bersifat final dan mengikat.
Tobas mengingatkan tentang potensi jabatan inkonstitusional apabila masa jabatan anggota DPRD diperpanjang tanpa pemilu. Menurut dia, sistem demokrasi tidak membenarkan adanya jabatan politik yang ditentukan melalui perpanjangan administratif, karena konstitusi hanya mengakui pemilu sebagai satu-satunya jalur menuju jabatan DPRD.
"Anggota DPRD tidak boleh diangkat, ditunjuk, atau diperpanjang secara administratif. Mereka hanya sah bila dipilih rakyat," kata dia.
Jika opsi lain yang diambil adalah mengosongkan DPRD selama masa transisi tersebut, pemerintah daerah akan beroperasi tanpa DPRD. Hal ini, kata dia, jelas melanggar konstitusi, sebab Pasal 18 ayat (3) menyebutkan pemerintahan daerah memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilu.
Putusan MK Dinilai Terlalu Teknis, Tutup Ruang Diskusi
Tobas mengkritisi substansi amar Putusan MK yang terlalu teknis. Menurut dia, amar putusan tersebut memuat jadwal dan skema penyelenggaraan pemilu secara eksplisit, yang seharusnya merupakan ranah pembuat undang-undang, bukan Mahkamah Konstitusi.
"Amar putusan yang memuat teknis pelaksanaan pemilu akan mengunci alternatif lain yang dapat saja terbuka untuk didiskusikan. Ini berpotensi menutup ruang bagi pembuat undang-undang untuk merumuskan kebijakan yang sesuai perkembangan teknologi dan dinamika politik," ungkap dia.
Dia menambahkan sistem pemilu harus adaptif dan tidak dibakukan melalui putusan yang rigid. Hal-hal teknis seharusnya dibahas melalui proses legislasi yang melibatkan publik, DPR, dan pemerintah.
Dalam situasi yang dilematis ini, Tobas menyerukan agar DPR dan pemerintah mencari jalan keluar yang tetap berada dalam koridor konstitusi. Dia menekankan pentingnya menjaga keabsahan lembaga negara tanpa melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.
"Kita dihadapkan pada situasi di mana melaksanakan atau tidak melaksanakan Putusan MK sama-sama berpotensi melanggar konstitusi. Ini jelas bisa mengarah pada krisis konstitusional. Oleh karena itu, kita perlu segera mencari solusi konstitusional yang bijak dan tidak keluar dari rel hukum dasar kita," kata Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI ini.