MK Kabulkan Gugatan UU Kepolisian, Kapolri Tak Bisa Tunjuk Polisi Duduk di Jabatan Sipil

Ilustrasi Mahkamah Konstitusi. Medcom.id

MK Kabulkan Gugatan UU Kepolisian, Kapolri Tak Bisa Tunjuk Polisi Duduk di Jabatan Sipil

Devi Harahap • 13 November 2025 13:33

Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menerima seluruh permohonan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Mahkamah juga menegaskan Kapolri tidak bisa lagi menunjuk polisi aktif menduduki jabatan sipil sebelum pensiun atau mengundurkan diri dari dinas kepolisian.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan frasa atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan dalam sidang dengan nomor perkara 114/PUU-XXIII/2025 di Gedung MK Jakarta, Kamis, 13 November 2025.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai frasa atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri menimbulkan ketidakjelasan norma dan membuka ruang multitafsir.

Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan ketentuan dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri sebenarnya sudah cukup jelas. Pasal tersebut menjelaskan anggota kepolisian dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. 

“Secara substansial, ketentuan itu menegaskan satu hal penting, yaitu anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi,” tegas Ridwan.

Menurut Mahkamah, keberadaan frasa tambahan dalam penjelasan justru memperluas makna norma dalam batang tubuh undang-undang, bukan menjelaskannya. 

“Penjelasan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma baru,” ujar Ridwan mengutip ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 13 Tahun 2022.
 

Baca Juga: 

Uji Materi UU Pers, Ahli Sorot Perlindungan Hukum Wartawan


Dia menegaskan keberadaan frasa itu berdampak pada dua hal, yakni ketidakpastian hukum bagi anggota Polri yang ingin menduduki jabatan di luar institusi, dan ketidakjelasan bagi aparatur sipil negara (ASN) yang berkarier di luar kepolisian.

“Adanya frasa tersebut berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian jabatan publik, serta menimbulkan ketidakjelasan bagi karier ASN di luar institusi kepolisian,” tegas dia.

MK juga menegaskan substansi Pasal 28 UU Polri sejalan dengan Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, yang menegaskan bahwa anggota Polri yang akan menduduki jabatan di luar kepolisian wajib mengundurkan diri atau pensiun.

“Rumusan tersebut bersifat expressis verbis dan tidak memerlukan tafsir lain. Mahkamah perlu menegaskan bahwa jabatan yang dimaksud adalah jabatan yang tidak memiliki sangkut paut dengan kepolisian, termasuk jabatan ASN, baik manajerial maupun nonmanajerial,” jelas Ridwan.

Atas dasar itu, MK menilai dalil para pemohon beralasan menurut hukum karena frasa atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri telah menimbulkan kerancuan dan memperluas makna Pasal 28 ayat (3), sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara.

Pendapat Berbeda Para Hakim Konstitusi


Meski putusan diambil secara mayoritas, tapi terdapat satu pendapat berbeda (concurring opinion) dari Hakim Konstitusi Arsul Sani dan dua pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Guntur Hamzah.

Daniel dan Guntur menilai perkara yang diajukan para pemohon bukan menyangkut konstitusionalitas norma, melainkan implementasi undang-undang. 

“Sepanjang pengujian terhadap frasa itu bukan masalah norma, melainkan implementasi, maka permohonan para pemohon seharusnya ditolak karena tidak beralasan menurut hukum,” tulis mereka dalam pendapat berbeda.

Perkara ini diajukan Syamsul Jahidin, seorang advokat sekaligus mahasiswa doktoral, dan Christian Adrianus Sihite, lulusan sarjana hukum yang belum mendapatkan pekerjaan tetap. 

Para pemohon menggugat ketentuan Pasal 28 ayat (3) dan penjelasannya karena dinilai diskriminatif dan membuka peluang bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri.

Dalam sidang pada 29 Juli 2025, Syamsul mencontohkan sejumlah jabatan sipil yang diduduki polisi aktif, seperti Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Wakil Kepala BSSN, Kepala BNPT, dan Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan.

“Praktik semacam ini bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara dan menurunkan kualitas demokrasi serta meritokrasi dalam pelayanan publik,” tegas Syamsul.
 
Baca Juga:

Willy Aditya: Putusan MK Tentang Keterwakilan 30% Perempuan di DPR Progresif


Sementara itu, Christian menambahkan, keberadaan frasa tersebut menutup peluang bagi warga negara sipil untuk bersaing secara adil dalam pengisian jabatan publik. 

“Aturan ini menghilangkan hak dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan, serta memberikan keistimewaan khusus bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan publik tanpa melepaskan statusnya,” ujar dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Achmad Zulfikar Fazli)