Bupati Lampung Tengah Adrito Wijaya. Foto: Metrotvnews.com/Candra Yuri Nuralam.
Rahmatul Fajri • 11 December 2025 19:03
Jakarta: Penangkapan Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah daftar panjang kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah. Menurut Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman, kasus serupa akan terus berulang karena akar masalahnya, yaitu sistem politik yang berbiaya tinggi dan lemahnya pengawasan tidak teratasi.
Zaenur menyatakan modus korupsi yang dilakukan kepala daerah akan tetap mirip. Ini meliputi jualan paket pengadaan barang/jasa dengan kickback, jualan jabatan, suap perizinan, dan korupsi anggaran.
"Ini cerita yang akan terus berulang terkait dengan korupsi kepala daerah. Karena memang sistemnya belum berubah, maka kejadian korupsinya juga tidak akan reda, tidak akan hilang. Saya duga ke depan masih akan ada lagi kepala daerah yang korupsi," ujar Zaenur, kepada Media Indonesia, Kamis, 11 Desember 2025.
Zaenur menyoroti dua faktor utama pendorong korupsi kepala daerah. Pertama, kebutuhan mengembalikan modal politik. Korupsi terjadi karena tingginya biaya politik (high cost political) dalam proses Pilkada. Kepala daerah membutuhkan modal untuk memenangkan kontestasi yang kemudian harus dikembalikan melalui praktik korupsi.
Faktor kedua, lemahnya pengawasan. Kepala daerah hampir tidak pernah diawasi secara substantif. DPRD yang seharusnya menjadi lembaga pengawas, sering kali menjadi bagian dari masalah karena ikut terlibat dalam praktik korupsi, seperti korupsi dana Pokok Pikiran (Pokir) atau Bantuan Keuangan Khusus (BKK).
Zaenur menegaskan, mengubah sistem pemilihan langsung menjadi pemilihan oleh DPRD tidak akan menghilangkan korupsi. "Korupsinya akan terus ada dan dimonopoli oleh elite-elite politik," tegas Zaenur.
Menurut Zaenur, solusi mendasar untuk memutus rantai korupsi kepala daerah adalah dengan mendesain ulang sistem pemilihan. Pemerintah perlu mengubah desain sistem pemilihan kepala daerah agar biayanya semakin murah. Sebagian besar pengeluaran harus ditanggung oleh negara, sementara kontestan hanya perlu membawa badan. Hal ini juga mencakup mengubah metode kampanye agar diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu.
.jpeg)
Ilustrasi korupsi. Foto. Dok. Media Indonesia.
Solusi kedua ialah reformasi sistem kepartaian. Ia mengatakan penting dilakukan reformasi sistem kepartaian untuk agenda demokratisasi internal parpol.
"Salah satu solusinya adalah merevisi Undang-Undang Pemilu untuk mengatur pendanaan partai politik yang lebih transparan," kata Zaenur.
Solusi ketiga ialah redesain sistem pengawasan. Zaenur menilai lembaga pengawasan internal seperti Inspektorat tidak berguna karena desain kelembagaannya yang lemah. Inspektorat berada di bawah kepala daerah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah yang sama, sehingga mustahil mereka mengawasi.
"Karena itu perlu redesain. Dengan mendesain ulang inspektorat agar tidak dipilih oleh kepala daerah dan tidak bertanggung jawab kepada kepala daerah," jelas Zaenur.