Ilustrasi Kejaksaan Agung. Foto: MI.
Jakarta: Kejaksaan Agung mengusut dugaan rasuah di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait pengadaan laptop senilai Rp 9,9 triliun. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, menilai hal itu sebagai upaya bersih-bersih di sektor pendidikan.
"Karena kita punya preseden buruk, sektor pendidikan masih menjadi salah satu sektor terkorup di Indonesia. Jadi upaya penegakan hukum di sektor pendidikan ini jangan dipandang sebagai hal yang negatif," kata Ubaid dalam keterangan yang dikutip Sabtu, 31 Mei 2025.
Ubaid menyatakan, penegakan hukum di sektor pendidikan akan berdampak terhadap penguatan sistem dan ekosistem pendidikan yang lebih baik. Jika tidak ada penegakan hukum yang cukup kuat di sektor pendidikan, maka korupsi sektor tersebut bisa menjadi ugal-ugalan.
Dia membenarkan apa yang dirilis oleh KPK bahwa sektor integritas pendidikan menjadi salah satu sektor yang sangat buruk di Indonesia. Ubaid mengaku sudah mendengarnya sejak dua tahun silam.
Menurut dia, sebagai pemangku kebijakan pendidikan,
top of the top atau paling atas penanggung jawabnya adalah menteri itu sendiri. Sehingga tidak salah jika Kejaksaan Agung hendak memanggil para pemangku kebijakan terkait untuk dimintai keterangannya.
"Saya pikir ini harus diinvestigasi secara menyeluruh dan diperiksa. Karena pemeriksaan itu kan tidak selalu berkonotasi negatif ya. Kalau misalnya semua pimpinan itu tidak terlibat, apa salahnya misalnya bersaksi? bahwa mereka memang dimintai keterangan ya memang tidak ada keterlibatan," kata dia.
Ubaid menilai tindakan Kejaksaan Agung adalah upaya berish-bersih dan penguatan integritas di sektor pendidikan. Maka sebagai pimpinan tertinggi di Kementerian Pendidikan, seorang menteri harus mampu bertanggungjawab untuk membuat kasusnya semakin terang.
“Kalau bisa sampai ketemu aktor intelektual saya pikir itu lebih membuka bahwa ternyata sektor pendidikan ini sangat perlu penegakan hukum," beber Ubaid.
Ubaid mencatat, sejak program pengadaan laptop diluncurkan JPPI ada dalam posisinya menolak. Sebab ketika program berjalan di era Covid, pemerintah hanya memberi bantuan pembelajaran digital tanpa pertimbangan matang.
"Kenapa waktu itu JPPI menolak karena kondisi daerah itu kebutuhannya beda-beda. Jadi ketika kebutuhannya beda-beda maka nggak bisa nih kebijakan pengadaan laptop ini (diseragamkan), kemudian tanpa membaca kebutuhan daerah tapi langsung disebarkan begitu saja," kritik Ubaid.
Imbasnya, lanjut Ubaid, bantuan datang tapi tidak bisa digunakan karena permasalahan teknis. Seperti, internet yang bekum merata, literasi pengoperasian laptop dan seterusnya.
"Sehingga kita dari awal sudah men-
disclaimer bahwa ini bahaya gitu kan," ujar Ubaid.
Apalagi, kata dia, celah korupsi di sektor pendidikan adalah pengadaan barang. Sehingga, wajar ada dugaan pengadaan laptop berpotensi
dikorupsi, mengingat rek jejak banyaknya kasus pengadaan barang di sektor pendidikan.
Jampidsus Kejagung mengudut dugaan korupsi pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek pada 2019–2022. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan penyidik pada Jampidsus mendalami dugaan pemufakatan jahat berbagai pihak, dengan mengarahkan tim teknis agar membuat kajian terkait pengadaan bantuan peralatan dalam pendidikan teknologi pada 2020.
“Supaya diarahkan pada penggunaan laptop yang berbasis pada operating system (sistem operasi) Chrome,” katanya.
Padahal, kata dia, penggunaan Chromebook bukanlah suatu kebutuhan lantaran pada 2019. Karena, telah dilakukan uji coba penggunaan 1.000 unit Chromebook oleh Pustekom Kemendikbudristek dan hasilnya tidak efektif.
Dari pengalaman tersebut, tim teknis pun merekomendasikan untuk menggunakan spesifikasi dengan sistem operasi Windows. Namun, Kemendikbudristek saat itu mengganti kajian tersebut dengan kajian baru yang merekomendasikan untuk menggunakan operasi sistem Chrome.
Kapuspenkum mengatakan bahwa pengadaan itu menghabiskan dana sebesar Rp9,982 triliun. Dana hampir puluhan triliun tersebut terdiri dari Rp3,582 triliun dana satuan pendidikan (DSP) dan sekitar Rp6,399 triliun berasal dari dana alokasi khusus (DAK).