Potensi Penyimpangan dalam Proses Perampasan Aset Koruptor, Legislator Ingatkan Risiko Manipulasi Nilai

Ilustrasi. Medcom

Potensi Penyimpangan dalam Proses Perampasan Aset Koruptor, Legislator Ingatkan Risiko Manipulasi Nilai

M Rodhi Aulia • 28 May 2025 11:36

Jakarta: Proses perampasan aset tindak pidana korupsi terus menjadi sorotan publik. Wacana percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, diharapkan menjadi solusi untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi. Namun, muncul pula kekhawatiran soal potensi penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan ini.

Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo, mengingatkan bahwa dalam proses teknis perampasan aset, celah penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum penegak hukum sangat terbuka, terutama terkait penilaian aset yang akan ditarik negara.

"Dalam proses menghitung besaran aset yang akan ditarik negara, setidaknya terbuka peluang untuk kompromi tentang perhitungan besar-kecilnya aset yang akan dirampas negara," ujar Bambang yang dikutip dari laman resmi MPR RI, Rabu, 28 Mei 2025.

"Kalau oknum petugas bersedia memperkecil nilai aset yang akan ditarik negara, kesediaan itu tentu saja tidak gratis. Kesediaan oknum petugas itu harus dikompensasi," sambung Bambang.

Baca juga: RUU Perampasan Aset Rentan Jadi Alat Pemerasan Jika KUHP Baru Belum Berlaku

Ia menekankan bahwa perampasan aset tidak boleh sekadar menjadi instrumen politik atau ladang transaksi terselubung. Dalam situasi tertentu, perhitungan nilai aset dapat dengan mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan.

“Jadi, pada isu tentang perampasan aset negara yang dikuasai koruptor, persoalannya bukan mau atau tidak mau, melainkan adanya kepastian bahwa hak merampas aset tindak pidana itu pada saatnya nanti tidak disalahgunakan. Misalnya, tidak disalahgunakan untuk memanipulasi perhitungan nilai aset. Kalau aset yang harus dirampas bernilai 100 tetapi hanya dihitung 10, bukankah negara dan rakyat tetap dirugikan?” tambahnya.

Bambang juga menyoroti perlunya sinkronisasi dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, yang menurut jadwal akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026. 

KUHP baru diharapkan bisa memberi landasan moral dan yuridis yang lebih kokoh dalam penerapan RUU Perampasan Aset. Ia menilai, tanpa perlindungan hukum yang kuat dan mekanisme pengawasan yang ketat, pelaksanaan UU ini justru berpotensi menciptakan ruang pemerasan baru.

“Sangat penting untuk digarisbawahi bahwasanya KUHP saat ini masih menyimpan potensi dan peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum penegak hukum,” ucapnya.

Untuk itu, politikus senior Partai Golkar tersebut menekankan pentingnya pengawasan ketat serta pembentukan lembaga atau otoritas independen bila UU Perampasan Aset jadi diberlakukan. Hal ini, menurutnya, untuk memastikan pelaksanaan kebijakan tidak menimbulkan ketidakadilan baru bagi warga negara dan tidak mencederai semangat reformasi hukum.

“Semangat dan kehendak menarik kembali atau merampas aset yang dikuasai para koruptor itu harus dilandasi prinsip moral yang kuat, agar tidak membuka peluang untuk terjadinya kejahatan baru oleh penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power),” pungkasnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Rodhi Aulia)