Rupiah. Foto: Metrototvnews.com/Husen.
Husen Miftahudin • 6 October 2025 09:50
Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah pada pembukaan perdagangan awal pekan ini kembali mengalami pelemahan.
Mengutip data Bloomberg, Senin, 6 Otober 2025, rupiah hingga pukul 09.40 WIB berada di level Rp16.591 per USD. Mata uang Garuda tersebut melemah 28 poin atau setara 0,17 persen dari Rp16.563 per USD pada penutupan perdagangan sebelumnya.
Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah pada waktu yang sama berada di level Rp16.606 per USD. Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah pada hari ini akan bergerak secara fluktuatif, meski demikian rupiah diprediksi akan menguat.
"Untuk perdagangan Senin ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp16.520 per USD hingga Rp16.560 per USD," ujar Ibrahim dalam analisis hariannya.
Pasar tak hiraukan penutupan Pemerintah AS
Ibrahim mengungkapkan, pergerakan nilai tukar rupiah hari ini akan dipengaruhi oleh sentimen keyakinan pasar yang sebagian besar mengabaikan kekhawatiran atas dampak langsung dari penutupan Pemerintah AS, mengingat penutupan di masa lalu hanya berdampak terbatas pada pasar keuangan.
"Pasar lebih fokus pada data ketenagakerjaan swasta minggu ini, terutama karena data penggajian non-pertanian pemerintah untuk September tampaknya tertunda akibat penutupan pemerintah," tutur dia.
Selain itu, sejumlah data ketenagakerjaan swasta yang lemah minggu ini membuat investor sebagian besar fokus pada pemangkasan suku bunga oleh The Fed pada Oktober, setelah pemangkasan sebesar 25 basis poin pada September.
Pasar memperkirakan peluang sebesar 99,3 persen The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin lagi dalam pertemuan akhir Oktober, menurut CME Fedwatch.
Ekspektasi pemangkasan
suku bunga di Oktober meningkat karena data PHK Challenger menunjukkan bisnis-bisnis AS terus memangkas peran pada September, meskipun dengan laju yang lebih lambat dibandingkan bulan sebelumnya.
Data penggajian ADP menunjukkan penurunan tajam pada September. Kedua data tersebut menjadi jauh lebih fokus daripada biasanya karena penundaan data penggajian non-pertanian resmi, yang dijadwalkan pada Jumat.
"The Fed telah mengutip meningkatnya risiko pasar tenaga kerja sebagai motivator utama pemangkasan suku bunga di September. Tetapi beberapa pejabat mengemukakan beberapa keraguan mengenai apakah bank sentral perlu memangkas suku bunga lebih lanjut, terutama di tengah inflasi AS yang tinggi," jelas Ibrahim.
(Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Foto: MI/Susanto)
Inflasi September tetap terjaga
Sementara dari sisi dalam negeri, Ibrahim menyoroti laporan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2025 yang tetap terjaga dalam kisaran sasaran 2,5 kurang lebih 1 persen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, IHK September 2025 tercatat inflasi sebesar 0,21 persen (mtm), sehingga secara tahunan IHK mengalami inflasi sebesar 2,65 persen (yoy).
Inflasi yang terjaga ini merupakan hasil dari konsistensi kebijakan moneter serta eratnya sinergi pengendalian inflasi antara BI dan Pemerintah (Pusat dan Daerah) dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah.
"Ke depan, diyakini inflasi akan tetap terkendali dalam kisaran sasaran 2,5 kurang lebih 1 persen pada 2025 dan 2026," tutur Ibrahim.
Sedangkan inflasi inti pada September 2025 tercatat sebesar 0,18 persen (mtm), lebih tinggi dari realisasi bulan sebelumnya sebesar 0,06 persen (mtm). Realisasi inflasi inti pada September 2025 disumbang terutama oleh komoditas emas perhiasan dan biaya kuliah akademi/perguruan tinggi.
Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh peningkatan harga komoditas emas global serta faktor musiman dimulainya tahun ajaran baru pendidikan akademi/perguruan tinggi, di tengah ekspektasi inflasi yang tetap terjaga. Secara tahunan, inflasi inti September 2025 tercatat sebesar 2,19 persen (yoy), sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi bulan sebelumnya sebesar 2,17 persen (yoy).