Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Gropu MI Ebet
8 November 2025 12:24
Dalam dunia hukum dan keadilan, ungkapan 'sekalipun langit runtuh hukum harus ditegakkan' sudah sangat masyhur. Ungkapan itu berasal dari adagium Latin fiat justitia ruat caelum. Ungkapan tersebut menekankan bahwa keadilan harus tetap ditegakkan tanpa memedulikan konsekuensi atau kesulitan yang mungkin timbul, bahkan dalam kondisi paling ekstrem sekalipun.
Prinsip itu menggarisbawahi bahwa keadilan harus menjadi prioritas utama yang tidak boleh dikompromikan, apa pun tantangan atau tekanan yang dihadapi. Seperti itulah mestinya hukum dijalankan di negeri ini. Namun, idealitas kerap bersimpang jalan dengan realitas. Hukum kerap bekerja untuk kuasa dan uang. Dalam situasi seperti itu, memperjuangkan keadilan bak menegakkan benang basah: amat sulit.
Apakah di negeri ini hukum sudah seperti benang basah? Mungkin tidak sebasah dua hingga satu dekade lalu. Namun, masih terlalu jauh untuk dikatakan 'benang kering'. Perjuangan membuat hukum agar 'tidak cuma tajam ke bawah dan tumpul ke atas' masih seperti labirin, berkelok-kelok dan membingungkan.
Tidak mengherankan, dalam berbagai survei indeks penegakan hukum, negeri ini masih berada di papan tengah. Survei terbaru yang dirilis World Justice Project (WJP) menempatkan Indonesia masih tertinggal dari Singapura dan Malaysia dalam hal penegakan hukum menurut skor Rule of Law Index 2025.
Baca Juga :
Dalam indeks tersebut, Indonesia mendapatkan skor 0,5239 dari skala 0 hingga 1. Angka 0 menggambarkan penegakan hukum sangat buruk, sedangkan angka 1 menunjukkan sebaliknya, yakni sangat baik. Skor indeks Indonesia di bawah Singapura yang punya skor 0,7833 dan Malaysia (0,5700).
Secara global, Indonesia menempati peringkat ke-69 dari 143 negara di dunia. Posisi itu turun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Secara regional, Indonesia berada di posisi kesembilan dari 15 negara Asia Timur dan Pasifik.
Skor Indonesia dalam indeks penegakan hukum WJP tahun ini sebenarnya turun tipis jika dibandingkan dengan 2024. Menurut laporan WJP, penurunan skor Indonesia hanya mencapai kurang dari 1%, tetapi itu sudah cukup untuk digeser di bawah Malaysia.
Meski turun tipis, WJP mencatat, Indonesia mengalami penurunan pada tiga aspek penting dalam skor Rule of Law Index 2025 tersebut. Ketiga aspek itu ialah kebebasan berpendapat dan berekspresi, kebebasan berkumpul dan berasosiasi, serta partisipasi masyarakat sipil.
Baca Juga :
Ketiga indikator tersebut melemah seiring dengan menyempitnya ruang kebebasan sipil di lebih dari 70% negara di dunia. Akan tetapi, Indonesia tetap menunjukkan stabilitas pada peradilan sipil, yang tidak ikut melemah seperti di banyak negara lainnya. Laporan tersebut juga menyebutkan kemunduran di dunia didorong meningkatnya tren otoritarianisme, penurunan kebebasan sipil, dan melemahnya independensi peradilan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Negara-negara dengan skor penegakan hukum tertinggi ialah Denmark, Norwegia, Finlandia, Swedia, dan Selandia Baru. Negara dengan skor terendah ialah Venezuela, Afghanistan, Kamboja, Haiti, dan Nikaragua.
Dengan melihat lemahnya indeks penegakan hukum, terutama pada soal kebebasan berpendapat dan berekspresi, kebebasan berkumpul dan berasosiasi, serta partisipasi masyarakat sipil, survei WJP itu senapas dengan hasil riset tentang indeks demokrasi. Dalam riset tahunan yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit (EIU), lembaga riset dan analisis yang berpusat di London, Inggris, menunjukkan Indonesia meraih skor 6,44 pada Indeks Demokrasi 2024.
Angka tersebut menunjukkan Indonesia kembali mengalami penurunan untuk masalah demokrasi. Indonesia tercatat anjlok tiga peringkat dari posisi ke-56 menjadi posisi ke-59 dari total 167 negara yang diteliti kondisi demokrasinya. Bila dibandingkan dengan 2023, Indonesia mendapatkan skor 6,53. Pada 2022, capaian indeks demokrasi sebesar 6,71.
Hasil itu membuat Indonesia setidaknya sudah tiga tahun berturut-turut berada di kategori negara dengan demokrasi yang cacat atau flawed democracy. Indonesia mendapat skor buruk untuk dua komponen penilaian, yaitu budaya politik dan kebebasan sipil. Untuk komponen budaya politik, Indonesia hanya diberi skor 5. Sementara itu, untuk urusan kebebasan sipil, Indonesia mentok mendapatkan skor 5,29.
Kiranya, dua skor indeks tersebut menjadi alarm bahwa tegaknya demokrasi akan memengaruhi tegaknya hukum dan keadilan. Soal kebebasan dan partisipasi yang menjadi jantung demokrasi, ternyata bisa membuat tegak teguhnya hukum. Karena itu, hati-hati dengan perjalanan demokrasi dan penegakan hak-hak sipil. Bukankah pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto sudah berjanji menegakkan Astacita? Bukankah Astacita pertama ialah memperkukuh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia?