Ilustrasi. Foto: Medcom
Jakarta: Kejaksaan Agung (Kejagung) meraih tingkat kepercayaan paling tinggi terkait pemberantasan korupsi. Hal itu berdasarkan survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI).
"Penilaian publik terhadap lembaga penegak hukum dalam pemberantasan korupsi masih menempatkan Kejaksaan Agung di peringkat teratas dengan angka 73 persen," kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan saat dikutip dari Media Indonesia, Minggu, 9 Februari 2025.
Kemudian, posisi kedua yaitu lembaga peradilan. Tingkat kepercayaan sebesar 71 persen.
Tingkat kepercayaan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam urusan pemberantasan korupsi sebesar 69 persen. Kemudian diikuti Polri, yaitu 66 persen.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, menjelaskan faktor yang membuat kepercayaan publik terhadap Kejagung lebih tinggi dibandingkan
KPK dan Polri. Menurut dia, proses penanganan korupsi di Kejagung jauh lebih komprehensif dan kontinu.
“Kejaksaan Agung menangani kasus korupsi secara kontinyu, langsung dilakukan penyelidikan, penetapan tersangka, penyidikan dan persidangan," kata Hibnu.
Sedangkan kasus korupsi yang ditangani KPK disebut tidak tuntas. Contoh, kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) DPR yang menyeret Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuan Hasto Kristiyanto.
"Kasus Harto itu kasus lama Harun Masiku beberapa tahun yang lalu, ada juga kasus AKBP Bambang yang disuap tapi tak bisa dilangsungkan persidangan, lalu kasus Gubernur Kalsel, Walikota Semarang dan lainnya, banyak yang tidak tuntas,” ungkap dia.
Menurut Hibnu, kerja cepat dan tuntas dari Kejagung dalam menuntaskan
kasus korupsi berdampak pada tingkat kepercayaan publik yang lebih tinggi. Sedangkan KPK dinilai lamban.
“Apakah karena saking banyaknya perkara atau mungkin karena SDM-nya kurang, tetapi sampai sekarang pun sudah ditentukan tersangka, masih belum bisa dipanggil. Padahal prinsip hukum kita itu penyelesaian harus cepat dan selesai. Ketika suatu kasus hukum tidak diselesaikan, maka pandangan masyarakat menilai buruk,” sebut dia.
Selain itu, Hibnu menyampaikan pandangan rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap
Polri. Hal itu dinilai disebabkan karena tidak adanya tindakan responsif secara institusional ketika para anggota melakukan tindakan melawan hukum.
“Terkait dengan kelembagaan itu, Polri agak rapuh contohnya banyak penembakan antara polisi dengan polisi, polisi dengan warga, belum lagi kasus pemerasan yang dilakukan oleh Polisi dan sebagainya. Ini sangat menjatuhkan nilai kepercayaan terhadap kepolisian. Jadi bagaimana mengendalikan manajemen internal itu sangat penting,” ujar dia.
Survei ini dilakukan dengan wawancara tatap muka terhadap 1.220 orang responden di seluruh provinsi. Pemilihan sampel menggunakan metode metodologi
multistage random sampling.
Margin of error dari ukuran sampel tersebut sebesar lebih kurang 2,9 persen. Sedangkan tingkat kepercayaan 95 persen.