Aturan Illicit Enrichment di Indonesia dan Urgensi RUU Perampasan Aset

Ilustrasi: MI/Duta.

Aturan Illicit Enrichment di Indonesia dan Urgensi RUU Perampasan Aset

Riza Aslam Khaeron • 28 May 2025 14:19

Jakarta: Setelah bertahun-tahun terombang-ambing dalam dinamika legislasi, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali mencuat dalam pembahasan parlemen.

Urgensi pengesahan RUU ini semakin menguat dengan munculnya wacana DPR untuk merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terutama karena Indonesia belum memiliki mekanisme hukum yang kuat untuk menindak kasus illicit enrichment— atau praktik pengayaan diri tidak sah yang sering kali terjadi dalam konteks korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

RUU ini diharapkan mampu menjadi senjata hukum untuk mengembalikan kerugian negara yang diperkirakan mencapai ribuan triliun rupiah.

Namun, sistem illicit enrichment di Indonesia dinilai masih berjalan setengah hati, karena tidak berdiri di atas fondasi hukum acara yang memadai. RUU Perampasan Aset diyakini dapat menjadi landasan penting untuk merampas kekayaan yang tidak sah secara sah dan adil, khususnya yang dimiliki oleh pelaku korupsi atau pencucian uang yang lolos dari jerat pidana.

Namun, RUU Perampasan Aset di Indonesia tak kunjung disahkan walau usulan sudah berusia belasan tahun.

RUU Perampasan Aset ini telah dirancang sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan bahkan sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2012, saat Kementerian Hukum dan HAM memasukkannya sebagai usulan prioritas pemerintah.

“Draf ini sudah ada sejak era Mahfud MD menjabat Menkopolhukam di era Pak Jokowi. Tapi sebelumnya pun, sudah berkali-kali masuk Prolegnas, bahkan sejak 2012. Artinya, kita sudah lebih dari satu dekade gagal mewujudkan instrumen hukum untuk mengembalikan aset,” tegas pengamat hukum Hardjuno Wiwoho.

Penting untuk memahami bahwa sistem hukum saat ini belum mampu menjawab tantangan tersebut secara tuntas. Dalam konteks ini, sangat penting untuk melihat lebih jauh bagaimana sistem illicit enrichment diatur saat ini dan mengapa RUU Perampasan Aset menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi.

Berikut penjelasan menyeluruh mengenai sistem tersebut dan urgensi pengesahannya di Indonesia.
 

Apa Itu Illicit Enrichment dan Bagaimana Sistemnya di Indonesia?

Illicit enrichment adalah situasi di mana seseorang memiliki harta kekayaan yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya secara sah dan wajar, dan harta tersebut tidak sesuai dengan profil penghasilannya.

Dalam sistem hukum Indonesia saat ini, terdapat beberapa mekanisme hukum yang menyentuh aspek illicit enrichment, sebagaimana dijelaskan oleh Bayu Adhi Tama, Mahasiswa Manager Fakultas Hukum Universitas Trisakti dalam makalah ilmiahnya tahun 2022 berjudul "Pengaturan Illicit Enrichment di Indonesia", namun belum terintegrasi dalam satu sistem khusus yang efisien. Berikut instrumen-instrumen hukum tersebut:

1. Pasal 12B Undang-Undang Tipikor (UU No. 20 Tahun 2001): Mengatur gratifikasi yang nilainya melebihi Rp10 juta dianggap suap jika tidak dilaporkan. Namun, ini masih memerlukan pembuktian pidana asal (misalnya suap atau pemerasan) dan tidak secara otomatis menyasar ketidaksesuaian antara aset dan pendapatan.

2. Pasal 37 ayat (1) UU TPPU (UU No. 8 Tahun 2010): Memungkinkan pembalikan beban pembuktian bagi terdakwa tindak pidana pencucian uang. Namun, pembalikan ini hanya berlaku dalam konteks pembuktian harta hasil kejahatan dan masih memerlukan putusan pidana utama.

3. Pasal 17 ayat (1) UU ASN (UU No. 5 Tahun 2014): Mengatur kewajiban penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekayaan. Meskipun dapat menjadi basis pemeriksaan administratif, ketidaksesuaian laporan belum otomatis menimbulkan konsekuensi hukum pidana.

4. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014: Mengafirmasi bahwa pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berkaitan dengan harta kekayaan dapat dibenarkan secara konstitusional.

Namun, tidak ada satu pun dari ketentuan di atas yang memberikan mekanisme non-konviktif (penyitaan aset tanpa perlu putusan pidana terlebih dahulu), seperti yang diterapkan dalam sistem non-conviction based asset forfeiture (NCB) yang telah diimplementasikan oleh 44 negara di dunia yang merupakan implementasi dari (United Nations Convention Against Corruption) UNCAC Pasal 20.
 

Illicit Enrichment Indonesia: Tantangan dan Kelemahan Saat Ini

Menurut Bayu, kelemahan utama dari sistem yang berlaku saat ini adalah ketergantungan mutlak pada vonis pidana untuk menyita aset. Jika tidak ada putusan pidana yang inkracht, maka aset yang diduga berasal dari pengayaan tidak sah tidak bisa dirampas secara hukum. Ini membuat proses hukum menjadi lambat dan rumit.

Selain itu, mekanisme pembuktian dalam konteks perdata juga tidak jelas. Tidak ada aturan tegas yang menetapkan bagaimana negara dapat menuntut seseorang secara perdata atas kepemilikan harta yang tak wajar.

Tanpa adanya mekanisme penyitaan sejak dini, aset yang berasal dari korupsi berisiko dipindahkan, dijual, atau disamarkan, sehingga memperkecil peluang negara untuk memulihkannya. Hal ini juga menunjukkan bahwa sistem hukum saat ini belum mampu memberi efek cegah dan efek jera terhadap pelaku korupsi sejak awal.

Bahkan jika penyidik menemukan ketimpangan besar antara harta dan penghasilan, tanpa bukti tindak pidana asal, proses hukum sering kali berhenti. Ini yang menyebabkan banyak aset hasil kejahatan tetap dikuasai oleh pelaku, bahkan setelah putusan bebas atau tidak dapat diproses lebih lanjut.

Dalam kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) berjudul "Implementasi Pengaturan Illicit Enrichment di Indonesia" (2023), dijelaskan bahwa tanpa instrumen hukum yang sah, negara kehilangan peluang besar untuk memulihkan aset yang diduga berasal dari korupsi.

Kajian tersebut menekankan pentingnya perubahan pendekatan dari offender-based enforcement (pendekatan berbasis pelaku yang menuntut pembuktian kejahatan terlebih dahulu) ke asset-based enforcement (pendekatan berbasis aset, fokus pada asal-usul kekayaan tanpa perlu membuktikan pelaku kejahatan terlebih dahulu) dengan dasar hukum yang kuat. 
 
Baca Juga:
Apa Itu RUU Perampasan Aset? Ini Penjelasan dan Alasan Belum Dibahas
 

Kenapa RUU Perampasan Aset Mendesak?

RUU ini mengusulkan pembentukan mekanisme hukum yang memungkinkan perampasan aset berdasarkan civil law (hukum perdata, tidak bergantung pada vonis pidana), tanpa harus menunggu vonis pidana (mekanisme non-konviktif). Ini akan menjadi terobosan dalam sistem hukum kita yang selama ini terlalu menitikberatkan pada pembuktian pidana.

RUU juga mengatur pembalikan beban pembuktian secara penuh (di mana terdakwa wajib membuktikan bahwa asetnya sah) terhadap harta tidak wajar. Artinya, seseorang yang memiliki kekayaan yang tidak sebanding dengan penghasilannya harus bisa membuktikan bahwa kekayaan tersebut diperoleh secara sah.

Selain itu, RUU ini membuka jalan bagi pembentukan unit atau lembaga negara yang secara administratif bisa menindaklanjuti ketidaksesuaian antara kekayaan dan penghasilan seseorang. Dengan demikian, pengawasan dan penindakan bisa dilakukan lebih dini dan lebih efisien.

Dukungan politik terhadap RUU ini juga semakin nyata. “Presiden dalam hal ini sudah berkomunikasi dengan seluruh ketua-ketua umum partai politik,” ujar Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, Rabu, 14 Mei 2025.

Sementara itu, Bambang Soesatyo mengingatkan bahwa perampasan aset harus tetap dilandasi prinsip moral dan KUHP baru agar tidak menjadi alat penyalahgunaan kewenangan. “Semangat dan kehendak menarik kembali atau merampas aset yang dikuasai para koruptor itu harus dilandasi prinsip moral yang kuat,” tulis Bamsoet, Rabu, 28 Mei 2025.

Tanpa sistem illicit enrichment yang kuat dan legal, negara akan terus kesulitan dalam memulihkan kerugian dari praktik korupsi. RUU Perampasan Aset bukan hanya dibutuhkan, tetapi wajib segera disahkan sebagai langkah sistemik memperkuat integritas negara dan mencegah berulangnya praktik pengayaan tidak sah.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Surya Perkasa)