Lukisan Nabi Musa memimpin bani Israil, dilukis tahun 1907. (Providence Lithograph Company)
Jakarta: Setiap tanggal 10 Muharam, umat Islam dianjurkan melaksanakan puasa Asyura sebagai amalan penuh keutamaan. Tradisi ini bukan sekadar ritual, tetapi juga menyimpan kisah panjang sejarah, nilai syariat, dan strategi dakwah Rasulullah SAW yang sangat adaptif terhadap masyarakat dan tradisi terdahulu.
Bagaimana perjalanan puasa Asyura dari masa nabi-nabi terdahulu hingga menjadi syariat Islam?
Puasa Asyura Sebelum Islam: Tradisi Yahudi dan Arab Jahiliyah
Melansir NU Online, tulisan Muhammad Abror pada 15 Agustus 2021, sejarah puasa Asyura memiliki akar yang sangat panjang, jauh sebelum disyariatkan dalam
Islam.
Salah satu asal muasalnya adalah peristiwa diselamatkannya Nabi Musa AS dan Bani Israil dari kejaran Fir’aun, di mana Nabi Musa kemudian berpuasa pada hari Asyura sebagai bentuk rasa syukur. Tradisi ini pun diteruskan oleh kaum
Yahudi dan menjadi puasa wajib tahunan bagi mereka.
“Dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata: Rasulullah saw hadir di kota Madinah, kemudian beliau menjumpai orang
Yahudi berpuasa Asyura. Mereka ditanya tentang puasanya tersebut, lalu menjawab: ‘Hari ini adalah hari di mana Allah memberikan kemenangan kepada Nabi Musa dan Bani Israil atas Fir’aun. Maka kami berpuasa untuk menghormati Nabi Musa.’ Kemudian Nabi saw bersabda: ‘Kami (umat
Islam) lebih utama memuasai Nabi Musa dibanding dengan kalian.’ Lalu Nabi saw memerintahkan umat
Islam untuk berpuasa di hari Asyura.”dikutip dari HR Muslim, dalam NU Online, 15 Agustus 2021.
Imam Fakhruddin ar-Razi juga menyoroti bahwa puasa Asyura sangat sentral dalam tradisi
Yahudi. Puasa 10 Muharam bahkan merupakan satu-satunya puasa wajib dalam setahun bagi mereka, sementara bagi umat
Islam, puasa tahunan utama adalah Ramadhan.
“Puasa 10 Muharam bagi umat
Yahudi merupakan satu-satunya puasa yang dilakukan dalam setahun. Jika umat
Islam punya puasa Ramadhan, maka umat
Yahudi punya puasa Asyura,”dikutip dari Mafâtîh al-Ghaib, juz V.
Selain di kalangan Bani Israil, tradisi puasa Asyura juga sudah dikenal masyarakat Arab sebelum
Islam. Menurut Syekh Musa Lasyin, masyarakat Jahiliyyah di Mekah pun melaksanakan puasa Asyura dengan dua kemungkinan alasan: ada yang mengikuti ajaran Nabi Ibrahim AS yang memuliakan hari Asyura, dan ada pula yang menjadikan puasa ini sebagai penebusan dosa.
“Ada dua kemungkinan alasan orang Jahiliyyah berpuasa Asyura: mengikuti syariat Nabi Ibrahim AS dengan tujuan memuliakan hari Asyura, atau sebagai penebus dosa-dosa yang telah dilakukan di masa Jahiliyyah,”mengutip Syekh Musa Lasyin, dikutip dari NU Online, 15 Agustus 2021.
Bahkan di Mekah, 10 Muharam juga dikenal sebagai hari pergantian kiswah (penutup) Ka’bah. Orang-orang Arab berpuasa sebagai bentuk pensucian diri dan permohonan ampun atas kesalahan yang dilakukan selama setahun penuh.
Dakwah Adaptif Rasulullah SAW: Puasa Asyura Jadi Tradisi Islam
Saat Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, beliau mendapati tradisi puasa Asyura telah dipraktikkan komunitas
Yahudi.
Merespon realitas sosial tersebut, Nabi mengadopsi strategi dakwah adaptif yang cerdas. Nabi turut berpuasa Asyura, bahkan mengajak umat
Islam melakukannya, agar terjalin kedekatan emosional dan spiritual dengan Ahlul Kitab. Sikap ini ditegaskan dalam hadits:
“Nabi saw suka menyamai Ahli Kitab di sebagian perkara yang tidak diperintahkan ...” (HR al-Bukhari), dikutip dari NU Online, 15 Agustus 2021.
Syekh Muhammad bin Abdul Baqi az-Zurqani mengutip Imam al-Qurtubi, menjelaskan:
“Boleh jadi, masyarakat Jahiliyyah berpuasa Asyura karena mengikuti syari?at nabi sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim as. Rasulullah saw yang juga ikut berpuasa saat itu, mungkin karena alasan adaptif saja, sebagaimana ibadah haji. Atau juga Allah mengizinkan Nabi saw berpuasa ‘Asyura (saat di Makkah) karena hal itu dinilai baik. Lalu, Nabi saw berjumpa orang
Yahudi (saat hijrah di Madinah) yang kebetulan sedang berpuasa Asyura. Melihat apa yang dilakukan
Yahudi, Nabi saw memerintahkan umat
Islam untuk juga berpuasa. Bisa jadi, Nabi saw ingin membuat orang
Yahudi luluh (dengan sama-sama berpuasa Asyura), sebagaimana yang dilakukan Nabi saw saat berkiblat ke arah kiblat mereka,” (Syarhu Mawâhibil Ladduniyyah, juz XI).
Kebijakan ini sangat strategis, sebagai bentuk penghormatan pada syariat terdahulu serta membuka ruang persatuan dan keterbukaan dakwah. Namun, setelah syariat
Islam mapan, Nabi SAW kemudian memerintahkan untuk berpuasa sehari sebelum Asyura (Tasu’a) agar puasa umat
Islam tidak sama persis dengan
Yahudi.
Sejarah puasa Asyura memperlihatkan bagaimana ibadah ini tidak hanya berakar pada syariat para nabi terdahulu, tetapi juga menjadi bukti kebijaksanaan dan visi dakwah Nabi Muhammad SAW yang inklusif.
Hari Asyura tahun ini jatuh pada 6 Juli 2025, menjadi momentum untuk merefleksi sejarah, memperkuat ukhuwah, serta mengambil inspirasi dari laku dan strategi dakwah Rasulullah SAW demi kemaslahatan umat.