Podium MI: Korupsi Berulang Sunyi di Senayan

Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi. (Ebet)

Podium MI: Korupsi Berulang Sunyi di Senayan

Media Indonesia • 22 December 2025 07:45

HANYA dalam waktu 24 jam, KPK menangkap 25 orang dalam operasi tangkap tangan di tiga daerah. Pada saat korupsi bergerak cepat dan berulang, Senayan justru tetap sunyi seolah tidak pernah ada yang perlu dibenahi.

Operasi KPK itu bukan sekadar catatan penindakan, melainkan cermin kegagalan negara menutup sumber korupsi yang sama dari waktu ke waktu. Salah satu sumber utamanya ialah mandeknya regulasi terkait dengan perampasan aset hasil korupsi.

Operasi bermula pada Rabu, 17 Desember 2025, malam di Banten. KPK menangkap sembilan orang, termasuk seorang jaksa dan dua penasihat hukum. Sisanya berasal dari pihak swasta. Sehari berselang, Kamis, 18 Desember 2025, KPK melanjutkan operasi di dua daerah berbeda pulau.

Di Bekasi, Jawa Barat, 10 orang ditangkap, termasuk Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang. Ia menjadi kepala daerah kelima yang ditangkap sepanjang 2025. Pada hari yang sama, di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, enam orang ditangkap, termasuk kepala kejaksaan negeri dan kepala seksi intelijen setempat.

Rangkaian operasi dalam waktu singkat itu menambah daftar panjang kepala daerah, jaksa, dan pengacara yang terjerat oleh korupsi. Korupsi tumbuh lintas profesi, menandakan persoalan yang sistemis dan negara belum menunjukkan keseriusan untuk membenahinya.

Data KPK mempertegas hal itu. Sejak 2004 hingga 16 Oktober 2025, sebanyak 201 kepala daerah terlibat dalam korupsi, terdiri atas 30 gubernur serta 171 bupati, wali kota, dan wakil wali kota. Di sisi lain, 13 jaksa dan 19 pengacara juga terseret dalam perkara korupsi.
 

Baca Juga: 

Penangkapan 25 orang dalam 24 jam itu kembali menegaskan bahwa suap dan gratifikasi masih menjadi persoalan yang sangat serius. Lebih dari itu, belum tampak upaya sungguh-sungguh untuk menutup celah terjadinya praktik tersebut. Sejak 2005, sekitar 62% perkara korupsi yang ditangani KPK berkaitan dengan suap dan gratifikasi. Sebagian di antaranya bahkan bermetamorfosis menjadi tindak pidana pencucian uang.

Ironisnya, Indonesia sejatinya telah memiliki hampir semua instrumen untuk memberantas dan mencegah korupsi. Dari sisi kelembagaan, terdapat KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri. Dari sisi regulasi, aturan pun tidak sedikit.

Namun, harus diakui, sebagian regulasi justru menghambat penguatan pencegahan korupsi, sementara regulasi kunci untuk menutup celah suap dan gratifikasi, seperti penguatan sistem pelaporan kekayaan, perlindungan pelapor, dan reformasi pendanaan politik, tak kunjung menjadi prioritas legislasi. Pada titik itulah Senayan kembali tampak sunyi. Ia hadir dalam jumlah, absen dalam keberanian.

Salah satu regulasi krusial itu ialah Undang-Undang Perampasan Aset. RUU Perampasan Aset telah dibahas sejak 2008 dan sempat masuk Program Legislasi Nasional 2023. Namun, hingga kini, pemerintah dan DPR belum juga menyepakatinya untuk disahkan. Publik pun wajar bertanya apakah regulasi itu terlalu efektif hingga ditakutkan menjelma menjadi senjata makan tuan?

Padahal, RUU tersebut pernah mendapat dukungan terbuka dari Presiden Prabowo Subianto dalam pidato peringatan Hari Buruh di Monumen Nasional, Jakarta, 1 Mei 2025. Presiden secara tegas menyatakan dukungannya terhadap perampasan aset hasil kejahatan korupsi.

Namun, tujuh bulan berlalu, RUU itu tetap sunyi di Senayan. Wacananya kerap muncul setiap kali KPK melakukan operasi tangkap tangan dan publik menyerukan pemiskinan koruptor. Setelah itu, ia kembali menghilang tanpa kepastian.
 
Baca Juga: 

KPK Gencar OTT Kepala Daerah, Legislator Sebut Biaya Politik Akar Korupsi


Tak kalah penting, negara juga perlu segera mengatur praktik lobi. Kajian KPK 2023 menyebutkan praktik lobi di DPR dianggap lumrah, tetapi tidak memiliki pengaturan khusus. Padahal, regulasi diperlukan untuk membedakan lobi politik yang sah dengan lobi yang sarat konflik kepentingan dan bermuara pada suap serta gratifikasi.

Tanpa pengaturan yang jelas, lobi akan terus menjadi pintu masuk korupsi. Data KPK menunjukkan, sejak 2004 hingga 16 Oktober 2025, sebanyak 364 anggota DPR dan DPRD terlibat korupsi. Banyak di antara mereka bermula dari praktik lobi yang tak pernah dibedakan mana yang politik, mana yang transaksi.

Pangkal soal kini tidak lagi kabur. Korupsi bukan sekadar urusan penindakan, melainkan juga pilihan politik untuk menutup atau membiarkan sumbernya. Selama regulasi kunci terus digantung di Senayan dan komitmen berhenti sebagai retorika kekuasaan, korupsi akan berulang dengan pola yang sama. Ini yang lebih memprihatinkan, kesunyian parlemen akan terus menjadi bagian dari masalah.

(Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Achmad Zulfikar Fazli)