Warga meletakkan bunga dalam mengenang korban kebakaran apartemen Wang Fuk Court di Tai Po, Hong Kong. (CHINA DAILY)
Muhammad Reyhansyah • 1 December 2025 13:02
Hong Kong: Isak tangis pecah di Taman Victoria, Hong Kong, pada akhir pekan ketika ratusan pekerja migran memperingati para korban kebakaran terbesar di kota itu dalam lebih dari satu abad. Mereka juga memanjatkan doa bagi rekan-rekan yang hingga kini masih dinyatakan hilang, di tengah ketidakpastian yang menyelimuti pascatragedi.
Sedikitnya 10 dari 146 korban tewas dalam kebakaran yang melanda menara hunian Wang Fuk Court merupakan pekerja migran, kelompok tenaga kerja yang kerap terpinggirkan. Puluhan lainnya masih belum ditemukan, berdasarkan pendataan AFP yang dihimpun dari berbagai konsulat.
Hong Kong sendiri menampung hampir 370.000 pekerja rumah tangga migran, mayoritas perempuan asal Filipina dan Indonesia yang bekerja merawat bayi serta lansia di tengah populasi yang terus menua.
Pada Minggu, yang merupakan hari libur rutin para pekerja migran, doa bersama digelar di berbagai titik kota. Para peserta mengungkapkan kecemasan atas nasib teman-teman mereka yang hilang, serta keterbatasan dukungan bagi para penyintas.
Sudarsih, pekerja migran Indonesia yang telah 15 tahun mengabdi di Hong Kong, mengatakan dua rekannya masih belum ditemukan. “Tuhan memberkati, semoga mereka cepat ditemukan dan selamat,” ujarnya seperti dikutip Channel News Asia, Senin, 1 Desember 2025.
Di Taman Victoria, para peserta menyanyikan himne dan berdoa di hadapan spanduk bertuliskan penghormatan bagi dedikasi dan keberanian pekerja rumah tangga migran. Dwi Sayekti, 38 tahun, dengan suara parau berharap tragedi serupa tak terulang. “Saya berharap ke depannya tidak terjadi lagi. Dan semua yang meninggal di Tai Po bisa ditemukan,” katanya.
Di kawasan pusat bisnis Hong Kong, sekitar 100 pekerja migran asal Filipina juga menggelar doa bersama di tempat pertemuan rutin mereka. “Kami berdoa semoga tidak ada lagi korban dalam tragedi kebakaran ini,” ujar Dolores Balladares, Ketua United Filipinos in Hong Kong.
Banyak doa dipanjatkan untuk Rhodora Alcaraz, perempuan Filipina yang baru beberapa hari bekerja di Hong Kong sebelum kebakaran terjadi. Dalam kisah yang beredar luas namun belum terverifikasi, Alcaraz disebut melindungi bayi berusia tiga bulan milik majikannya dengan tubuhnya saat api merambat.
Saat ditemukan petugas pemadam di apartemen yang dipenuhi asap, ia masih menggendong bayi tersebut. Alcaraz dilaporkan masih dirawat di unit perawatan intensif, meski kondisi terkininya belum dapat dikonfirmasi AFP.
Michelle Magcale, sesama pekerja migran, mengaku sangat terpukul. “Saya sangat sedih dan tak bisa berkata-kata. Atas tugas dan tanggung jawabnya, ia menyelamatkan satu nyawa… kami berterima kasih atas itu,” ujarnya. Balladares menambahkan, “Kami salut karena ia memberikan yang terbaik untuk melindungi keluarga tersebut.”
Konsulat Filipina melaporkan seorang warganya, Maryan Pascual Esteban, meninggal dunia dalam kebakaran itu, meninggalkan seorang putra berusia 10 tahun dan keluarga di Cainta, Rizal. Satu warga Filipina lainnya terluka, sementara status tujuh orang masih belum dapat dipastikan.
Sementara itu, Konsulat Indonesia menyebutkan sembilan WNI meninggal dunia, satu terluka, dan 42 lainnya masih belum ditemukan.
Lebih dari 50 penyintas telah mengajukan permohonan bantuan kepada Asian Migrants’ Coordinating Body, menurut juru bicara Shiela Tebia. Mereka sangat membutuhkan pakaian, terutama pakaian dalam, karena dokumen penting seperti kartu identitas dan paspor ikut hangus terbakar.
Tebia menyebut para penyintas juga mengalami tekanan psikologis berat. “Mereka masih memproses kejadian itu, banyak yang tidak bisa tidur nyenyak dan mengalami trauma. Namun, mereka tetap harus menopang majikan mereka yang juga sedang berduka,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa konsulat telah menjanjikan bantuan, meski detailnya belum jelas. Sringatin, Ketua Indonesian Migrant Workers Union, menilai informasi dari pihak konsulat masih belum cukup cepat, sementara organisasinya berupaya menenangkan para pekerja agar tidak panik.
Pemerintah Hong Kong berencana memberikan bantuan sebesar 200.000 dolar Hong Kong untuk masing-masing keluarga korban meninggal. Namun, Direktur Eksekutif Bethune House, Edwina Antonio, menilai langkah itu belum mencukupi.
“Bagaimana dengan para penyintas?” ujarnya. “Mereka yang masih berada di Hong Kong telah kehilangan seluruh harta benda.”
Antonio mendesak agar pekerja migran juga dimasukkan dalam skema bantuan finansial pemerintah. “Mereka sering kali menjadi satu-satunya pencari nafkah bagi keluarga,” katanya.
Baca juga: PMI Asal Malang Tewas dalam Kebakaran Apartemen di Hong Kong