DPR Minta Kemenkes Buka-Bukaan Temuan Investigasi Perundungan Dokter Aulia

Gedung DPR ilustrasi. Foto: Dok Medcom.id

DPR Minta Kemenkes Buka-Bukaan Temuan Investigasi Perundungan Dokter Aulia

Media Indonesia • 30 August 2024 09:34

Jakarta: Komisi IX DPR memanggil Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Kamis, 29 Agustus 2024. Pemanggilan membahas penyebab berikut hasil investigasi dan bunuh diri Dokter Aulia Risma yang diduga karena adanya perundungan saat menjadi peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS).

Anggota Komisi IX DPR Edy Wuryanto mendorong Kemenkes mengungkap bukti kematian Dokter Aulia yang diserahkan kepada aparat penegak hukum (APH). Menurutnya, hal ini penting karena ada pendapat yang berbeda antara Kemenkes dan Fakultas Kedokteran Undip atas penyebab aksi bunuh diri yang dilakukan Dokter Aulia.

"Kalau benar ada pelanggaran dari senior dokter, sanksi paling berat harus dilakukan. Yakni cabut STR dan izinnya. Kalau sampai pelanggaran hukum, maka silakan APH memproses," tutur Edy dalam keterangannya, Jumat, 30 Agustus 2024.

Edy mengatakan keterbukaan kasus ini menjadi pintu masuk memperbaiki sistem pendidikan spesialis di Indonesia. Tidak hanya dokter, tapi juga dokter gigi, perawat, hingga apoteker. Legislator dari Dapil Jawa Tengah III ini juga menyebut ada monster yang selalu dihadapi oleh mahasiswa program spesialis.

"Ya monster itu memang sesuatu yang menakutkan. Artinya aksi pungli sampai intimidasi hingga menimbulkan ketakutan ini memang masalah nyata di dunia pendidikan spesialis pada profesi kesehatan," tuturnya.
 

Baca juga: Menkes Minta Pelaku Bullying di Dunia Kedokteran 'Dibereskan'

Pria yang pernah menempuh pendidikan doktoral di bidang kesehatan ini juga memahami bagaimana sistem pendidikan di bidang kesehatan Indonesia berjalan. Menurutnya, para pendidik program spesialis yang merupakan orang-orang berkualitas yang mahir di klinis tapi tidak dibekali kemampuan sebagai pendidik.

"Pendidik pada program spesialis dari klinis yang tidak memiliki keterampilan pendidikan akan mengajar sesuai pengalamannya. Dulu diajari sama seniornya dengan dibentak-bentak, maka ketika jadi pendidik maka cara itu yang dilakukan," kata Edy.

Edy mengusulkan agar pendidik klinis harus memiliki sertifikasi sehingga mereka harus belajar kembali mengenai teori pendidikan. Sebab, menurut Edy, kemampuan klinis saja belum cukup untuk melakukan transfer knowledge.

"Bagi pendidik klinis itu harus punya metode bagaimana membimbing dan mentoring mahasiswanya," tuturnya.

Menurut Edy, peran kolegium yang sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2024 tentang Kesehatan diperlukan. Dia memerinci, kolegium yang memiliki tugas pokok dan tanggung jawab untuk menyusun standar pendidikan profesi, standar kompetensi profesi, lalu proses pembelajaran pendidikan profesi dan spesialis.

"Penilaian atau uji kompetensi nasional pendidikan profesi dan spesialis. Kolegium juga yang mengeluarkan sertifikat untuk calon pendidik klinis," ucap Edy.

Edy mendorong agar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menerbitkan aturan turunan UU Kesehatan tersebut. Sehingga, aksi Kemenkes untuk memberantas perundungan di pendidikan spesialis pun dapat dibarengi dengan perubahan sistem sesuai dengan yang disusun oleh kolegium.

"Kolegium itu isinya adalah para guru besar. Kolegium ini dapat menjadi instrumen negara yang diharapkan dapat mengubah sistem pendidikan spesialis profesi kesehatan di Indonesia," jelasnya.

Dengan keseriusan transformasi pendidikan spesialis profesi kesehatan ini, Edy berharap adanya pendidikan yang mengerti bagaimana menciptakan lingkungan pendidikan profesi yang menyenangkan tapi tetap tampil sebagai klinis.

"Diharapkan ada perubahan berlaku lalu lingkungan pembelajaran klinis yaitu lebih nyaman, lebih menyenangkan, mahasiswa lebih enjoy. Bisa belajar dari seniornya tapi dengan sukacita, lalu dia memperoleh peningkatan kompetensi klinik sesuai dengan target pembelajaran," bebernya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arga Sumantri)