Podium MI: Reformasi Bhayangkara

Dewan Redaksi Media Gorup, Ade Alawi. Foto: MI/Ebet.

Podium MI: Reformasi Bhayangkara

Media Indonesia • 18 November 2025 06:35

GELOMBANG samudra hukum di Tanah Air tak pernah sepi dari guncangan. Gelombang yang menyebabkan kapal bernama Indonesia terguncang, oleng, bahkan nyaris tenggelam.

Amuk gelombang terus menerjang. Setiap waktu, siang dan malam. Kapal sulit berlabuh di pantai harapan karena badai ketidakadilan di samudra hukum yang luas.

Hukum yang semestinya untuk semua berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) pada faktanya berlaku sebaliknya. Miris menusuk kalbu.

Hukum tajam ke bawah. Menyasar secara cepat, tidak pakai lama, kalangan bawah. Mereka dengan mudah ditelikung, ditekuk, dan dilumpuhkan, dan hak-hak hukum mereka dicampakkan.

Tak ada kompromi lagi bagi mustadh'afin (kaum yang lemah, tidak berdaya, dan tertindas). Jika kemudian mereka dilepaskan dari jerat hukum, tak lain karena tekanan publik, no viral no justice.

Baca juga: Komisi Reformasi Polri Serap Aspirasi dari Gerakan Nurani Bangsa

Berbeda jika hukum menyasar kalangan atas, kuat secara ekonomi, sosial, dan politik. Kelompok itu memiliki fulus yang banyak, jaringan, pengaruh, dan akses ke aparat penegak hukum.

Mereka punya akses politik ke pihak berkuasa sehingga bisa memengaruhi penegakan hukum. Aparat penegak hukum seperti kebingungan, berputar-putar, melingkar-lingkar, terkesan emoh menjamahnya.

Fenomena hukum tebang pilih atau pilih-pilih 'menebang' pelanggar hukum bukan perkara baru. Itu ada sejak Orde Baru, era kegelapan dalam sejarah perjalanan republik.

Hukum menjadi alat penguasa untuk membungkam lawan politik, bukan alat untuk menegakkan keadilan. Tragedi hukum yang bermula dari krisis etika berbangsa dan bernegara akhirnya melahirkan krisis yang bersifat multidimensi bagi negeri ini.

Setelah rezim Orba tumbang akibat dilengserkan people power, fenomena hukum tebang pilih bukan punah, melainkan makin mewabah. Hampir semua lembaga penegak hukum, bahkan KPK yang lahir karena gelora reformasi, dan ranah yudikatif, dijangkiti penyakit akut yang bernama tebang pilih.

Mafia hukum pun berkelindan di dalamnya. Mereka berpesta pora. Celakanya, seorang terpidana, Silfester Matutina, alih-alih dikerangkeng, malah menjadi komisaris BUMN.

Demikian pula mantan Ketua KPK Firli Bahuri sudah dua tahun berstatus tersangka pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) oleh Polda Metro Jaya belum juga ditahan. Tersangka masih bisa asyik main badminton.

Penegak hukum belum bisa menyangga Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) sesuai Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Senyampang dengan hal itu, menjawab keresahan publik, Presiden Prabowo Subianto membentuk dan melantik Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jumat (7/11).

Komisi itu beranggotakan 10 orang. Dua nama beken masuk di dalamnya, yakni Ketua Mahkamah Konstitusi periode pertama, Jimly Asshiddiqie (Ketua Komisi Reformasi Polri) dan Ketua MK periode 2008-2014 yang juga Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan periode 2019-2024 Mahfud MD.

Polri sebenarnya baru saja memiliki tim reformasi yang bernama Tim Transformasi Reformasi Polri. Tim itu beranggotakan 52 perwira tinggi dan perwira menengah Polri yang dipimpin Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Polri Komjen Chryshnanda Dwilaksana.

Bukan tanpa alasan Prabowo membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri. Beberapa kasus terjadi di internal Polri dan menyita perhatian publik seperti kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang dilakukan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Inspektur Jenderal Ferdy Sambo.

Mahkamah Agung (MA) menganulir hukuman mati bagi Ferdy Sambo menjadi pidana penjara seumur hidup pada 8 Agustus 2023. Kasus itu melahirkan drama panjang terkait dengan upaya rekayasa untuk menyelamatkan tersangka.

Dari 97 polisi yang diperiksa, sebanyak 35 polisi menjalani sidang kode etik karena terlibat perkara obstruction of justice (perintangan penyidikan). Anehnya, enam perwira polri yang terlibat perkara tersebut belakangan malah mendapatkan kenaikan pangkat dan promosi jabatan.

Lembaga yang memiliki semboyan Rastra Sewakotama (Abdi Utama bagi Nusa dan Bangsa) gagal menjadikan kasus Ferdy Sambo sebagai momentum 'sapu bersih' bagi praktik lancung. Semua berlalu secara business as usual tanpa efek jera.

Selain itu, kasus narkoba tidak tanggung-tanggung menjerat mantan Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Barat Teddy Minahasa. PN Jakarta Barat pada Selasa (9/5/2023), menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada perwira tinggi bintang dua itu karena terbukti memperjualbelikan barang bukti narkotika jenis sabu.

Belum lagi demonstrasi yang berujung kerusuhan akhir Agustus lalu yang menjadi atensi Prabowo. Alhasil, jalan terjal nan berliku akan dihadapi Komisi Reformasi yang dipimpin Jimly.

Pakar hukum tata negara kelas wahid itu bisa pusing tujuh keliling karena di dalam tim berpotensi terjadi tarik menarik kepentingan yang akan menjadi sandungan reformasi total Polri. Terlebih, tidak ada tokoh masyarakat sipil yang kritis bergabung di dalamnya.

Dalam studi terbaru, Center of Economic and Law Studies (Celios) menyebutkan mayoritas responden menilai kinerja Polri berada pada kategori sangat buruk hingga buruk.

Sebanyak 55% responden memberikan nilai 1 dan 23% memberikan nilai 2. Dengan demikian, 78% responden menilai kinerja Polri berada pada tingkat sangat buruk.

Walakin, MK sudah memberikan karpet merah ke Jimly untuk menata Polri dengan melarang polisi aktif memegang jabatan sipil. Sebanyak 4.351 anggota kepolisian menduduki jabatan di luar institusi Polri.
Baca juga: Komisi Reformasi Polri Serap Aspirasi dari Gerakan Nurani Bangsa

Delapan di antaranya perwira tinggi Polri yang menempati sejumlah posisi strategis.

Polri harus kembali ke khitah sesuai dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 bahwa Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Reformasi Polri ialah keniscayaan sejarah. Reformasi yang meliputi tiga aspek, yakni struktural, kultural, dan pelayanan masyarakat. Perubahan fundamental pada bayangkara negara itu didasarkan pada empat nilai dasar, yakni profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, dan berorientasi pada martabat manusia.

Keempat nilai itu akan teruji salah satunya pada penyelesaian kasus penghasutan tudingan ijazah palsu Presiden Ke-7 RI Joko Widodo yang terkesan bertele-tele. Justice delayed is justice denied (keadilan yang ditunda ialah keadilan yang diingkari).

Menjadi orang penting, kata Kapolri ke-5 Jenderal (Purn) Hoegeng Iman Santoso, memang baik. "Namun, lebih penting menjadi orang baik," kata tokoh anutan Korps Bhayangkara yang berjuluk 'polisi paling jujur di Indonesia' itu. Tabik!

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Anggi Tondi)