Ilustrasi. Foto: MI.
Media Indonesia • 11 November 2025 05:52
PENGUNGKAPAN kasus korupsi oleh KPK yang berturut-turut dalam sepekan menjerat dua kepala daerah, yaitu Gubernur Riau dan Bupati Ponorogo, seolah menjadi penegas bahwa para pelaku praktik lancung itu memang tak mengenal kata jera. Fakta tersebut juga semakin menguatkan asumsi bahwa semua orang yang memiliki kuasa cenderung untuk korupsi.
Mereka, Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, belum sampai setahun menjabat sebagai pemimpin daerah. Namun, dorongan syahwat untuk memperkaya diri dengan cara korupsi kiranya sudah terlalu menggebu, menenggelamkan integritas yang seharusnya mereka pegang kukuh sebagai pemimpin.
Nafsu melakukan rasuah tidak terbendung karena terbuka celah peluang untuk itu. Celah selalu terbuka lantaran sistem pengawasan lemah dan majal. Pengawasan lemah karena upaya tersebut tidak menjadi fokus dari birokrasi yang bobrok dan kotor. Birokrasi yang tidak bersih muncul dari kepemimpinan yang korup.
Begitulah, lingkaran setan seperti itu terus membayangi tata kelola pemerintahan di daerah. Maka, menjadi tidak mengherankan bila praktik korupsi di daerah nyaris tak pernah surut. Triliunan rupiah dari APBN yang mengalir ke daerah, bahkan sampai ke desa, alih-alih menciptakan pemerataan kesejahteraan, malah memunculkan koloni-koloni baru korupsi.
Baca juga:
KPK Beberkan Peran 5 Tersangka Baru Kasus Rasuah di Situbondo |
Raja-raja kecil nan korup terus bermunculan. Untuk level kepala daerah saja, sepanjang tahun ini KPK sudah mencokok tiga orang melalui operasi tangkap tangan (OTT). Belum lagi level pejabat daerah di bawahnya dan anggota legislatif daerah, sudah banyak pula yang ditangkap dan ditersangkakan oleh KPK.
Semua itu seakan mengonfirmasi temuan KPK beberapa waktu lalu bahwa kasus korupsi di daerah justru lebih banyak daripada di pusat. Temuan itu menyebut 51% kasus korupsi yang ditangani KPK melibatkan pejabat daerah, baik eksekutif maupun legislatif. Itu menandakan korupsi di daerah masih menjadi persoalan serius dalam tata kelola pemerintahan.
Pada sisi pengawasan, ada dua titik lemah yang banyak disebut sebagai penyebab maraknya aksi korupsi di daerah. Yang pertama ialah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Mereka yang seharusnya punya tanggung jawab mengawasi eksekutif, justru tidak menjalankan fungsi dengan maksimal. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan ikut terlibat dalam labirin korupsi pejabat eksekutif daerah.
.jpg)
Titik lemah kedua ialah tak berfungsinya inspektorat sebagai aparatur pengawas internal pemerintahan. Posisi inspektorat yang berada langsung di bawah kendali kepala daerah membuat lembaga tersebut tidak punya independensi sekaligus rentan intervensi.
Dengan posisi itu, inspektorat kehilangan nyali ketika harus berhadapan dengan perilaku kotor atasan mereka alias kepala daerah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan pula, apabila pejabat inspektorat memiliki integritas yang juga buruk, mereka malah ikut menjadi bagian dari kongkalikong atau permufakatan jahat korupsi di daerah.
Karena itu, cara paling mangkus untuk menekan korupsi di daerah ialah dengan memperkuat sistem pengawasan. Tinggalkan sistem pengawasan model lama yang terbukti malah menciptakan banyak lubang yang kelak dimanfaatkan orang-orang jahat sebagai pintu masuk praktik korupsi.
| Baca juga: Cara Sekda Ponorogo Pertahankan Jabatan Selama 12 Tahun Diselisik KPK |
Reformasi sistem pengawasan dan pemberdayaan lembaga pengawas daerah, termasuk menguatkan lagi fungsi DPRD, menjadi langkah mendesak yang mesti dilakukan. Tanpa hal itu, percayalah, aksi korupsi di daerah akan terus menjamur. Pelaksanaan desentralisasi kekuasaan harus diawasi ketat agar tak melenceng menjadi desentralisasi korupsi.
Berulang kali kita ingatkan, pemberantasan korupsi memerlukan komitmen politik yang kuat dari semua pihak. Aparat penegak hukum tidak bisa bekerja sendiri karena membasmi korupsi menuntut kerja bareng, termasuk dalam mempertajam pengawasan dan pencegahan.
Jika itu tidak segera direformasi, kita seperti sedang membiarkan lingkaran setan tersebut berlanjut, terus melingkar-lingkar tanpa sanggup diputus.