Sikapi Putusan MK, MPR Didorong Amendemen UUD untuk Pertegas Batasan Kewenangan Lembaga Tinggi Negara

Ilustrasi Kompleks Parlemen. Foto: MI/Barry Fathahilah.

Sikapi Putusan MK, MPR Didorong Amendemen UUD untuk Pertegas Batasan Kewenangan Lembaga Tinggi Negara

Anggi Tondi Martaon • 5 July 2025 10:14

Jakarta: Anggota DPR Nurdin Halid mendorong amendemen UUD 1945. Perubahan dilakukan untuk mempertegas batasan kewenangan lembaga tinggi negara. 

Usulan itu disampaikan Nurdin karena mengkritik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 karena dinilai melampaui kewenangannya soal pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal. Menurut dia, MK sudah masuk pada ranah legislatif sebagai pembuat undang-undang dengan merumuskan pengaturan yang sangat teknis tentang pemilu.

“Dalam UUD 1945, kewenangan MK ialah menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum,” ujar Nurdin Halid melalui keterangan tertulis, Sabtu, 5 Juli 2025.

Menurut Nurdin, putusan MK soal pelaksanaan pemilu DPRD jelas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22 E ayat 1 juncto ayat 2. Ketentuan tersebut mengamanatkan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali dan pada ayat 2 dikatakan bahwa termasuk yang dipilih dalam lima tahun sekali anggota DPRD. 

“Keputusan MK ini tidak hanya cacat secara konstitusional tetapi menimbulkan ketidakpastian terhadap demokrasi, sistem tata negara, perencanaan pembangunan, sistem pemerintahan daerah, tata kelola pemilu, keuangan negara serta membingungkan publik dan masyarakat,” ungkap dia.
 

Baca juga: 

MK Disebut Bertranformasi Jadi Lembaga Ketiga Perumus UU


Nurdin sangat menghargai kewenangan dan sifat putusan MK yang final and binding, sehingga harus dihormati dan dilaksanakan bersama. Tetapi, kewenangan MK hanya menguji UU dan bisa membatalkan sebuah UU jika dinilai bertentangan dengan Konstitusi. 

Menurut dia, MK tidak punya kewenangan merumuskan koreksi atas pasal UU yang dibatalkan. Tugas merumuskan koreksi atas pasal yang dibatalkan oleh MK harus dikembalikan ke DPR sebagai pembuat undang-undang.

“Pertanyaannya, siapa yang menjamin bahwa putusan MK hari ini yang bersifat final and binding tidak dibatalkan oleh hakim-hakim MK periode berikutnya. Jika demikian, berarti MK telah menjelma menjadi lembaga yudikatif sekaligus legislatif,” ujar Nurdin.

Selain itu, Nurdin menyampaikan telah terjadi konflik kewenangan antar-lembaga tinggi negara pasca empat kali Amandemen UUD 1945 pada periode 1999-2002 untuk mewujudkan cita-cita Reformasi 1998. Gelombang Reformasi 1998 bertujuan untuk mengoreksi kewenangan besar Presiden (Soeharto) selama 30 tahun lebih akibat ketidakjelasan penafsiran yang terbuka terhadap UUD 1945.

Secara terang empat kali Amandemen itu berhasil membatasi kekuasaan eksekutif (Presiden) dan pada saat yang sama memperkuat kewenangan legislatif (DPR) serta menambah beberapa lembaga seperti DPD, Komisi Yudisial, dan MK.

“Namun muncul masalah baru yaitu menguatnya kewenangan yudikatif (Mahkamah Konstitusi). Dalam beberapa putusan MK tampak bahwa kekuasaan legislatif bisa dicaplok oleh MK. Dan semuanya, baik kewenangan konstitusional DPR maupun MK, berpatokan pada kewenangan konstitusi UUD 1945 yang sama,” ujar dia.

Oleh karena itu, Nurdin mendorong MPR menggelar sidang istimewa untuk mengembalikan UUD 1945 yang asli dan utuh. Menurut dia, euforia Reformasi 1998 yang  melahirkan empat kali Amandemen UUD 1945 justru telah mengganti jiwa, filosofi, dan sistem dasar  berbangsa dan bernegara Indonesia. Amandemen UUD 1945 telah menggantikan ‘roh’ demokrasi Pancasila berbasis musyawarah mufakat ke demokrasi liberal.

“Jika Pancasila sebagai roh demokrasi Indonesia dan Konstitusi UUD 1945 sebagai patokan dasar bergeser, maka otomatis semuanya bergeser. Dan, kita menjadi gagap menghadapi dampak dari pergeseran-pergeseran itu. Itulah akar dari carut-marut kehidupan sosial politik kita dalam dua dekade terakhir,” tegas Nurdin Halid.

Nurdin berharap MPR kembali menjadi ‘wasit’ dalam posisi sebagai lembaga tertinggi negara yang memiliki otoritas tertinggi dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Termasuk menengahi konflik kewenangan antar-lembaga tinggi negara yang berimplikasi luas dan tidak produktif.

"Saya mendorong MPR melakukan Amandemen kembali ke UUD 1945 yang asli dan utuh. Selain itu, Sidang MPR juga membuat Tap MPR untuk menafsir secara resmi Pasal-Pasal UUD 1945 mengingat Bagian Penjelasan dalam UUD 1945 yang asli sudah dihapus. Jadi, baik DPR dan DPD maupun lembaga tinggi negara yang lain harus mengacu pada penafsiran resmi yang tertuang dalam TAP MPR," kata dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Anggi Tondi)