Tolak Rencana 'Kota Humanitarian', Israel Pilih Perluas Operasi Militer di Gaza

Kepala Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Eyal Zamir pada 1 Februari 2023. (Dok. Kementerian Pertahanan Israel)

Tolak Rencana 'Kota Humanitarian', Israel Pilih Perluas Operasi Militer di Gaza

Riza Aslam Khaeron • 22 July 2025 16:57

Gaza: Pemerintah Israel disebut mulai mempertimbangkan perubahan strategi besar dalam operasi militernya di Jalur Gaza. Alih-alih melanjutkan rencana lama untuk memindahkan ratusan ribu warga Gaza ke zona khusus yang disebut "kota humanitarian" di Rafah selatan, pimpinan militer kini mendorong perluasan wilayah pendudukan militer di Gaza untuk menekan Hamas.

Mengutip Media Israel, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel (IDF), Letnan Jenderal Eyal Zamir, mengusulkan agar IDF mengambil alih lebih banyak wilayah di Gaza secara bertahap. Zamir menggambarkan langkah itu sebagai "rencana untuk menguasai Gaza" demi mencapai dua tujuan utama perang: menghancurkan Hamas dan membebaskan para sandera.

"Kami telah menyampaikan beberapa opsi kepada pimpinan politik untuk melanjutkan ofensif terhadap Hamas," ujar Zamir saat berkunjung ke Kota Gaza, Minggu, 20 Juli 2025. "Capaian kalian di lapangan akan memungkinkan perubahan pola operasi kami," tambahnya.

Zamir juga menegaskan bahwa IDF akan menerapkan "formasi operasional baru" untuk meningkatkan efektivitas serangan dan memperkecil kerentanan pasukan.
 

Baca Juga:
Netanyahu Ingin Evakuasi dan Ambil Alih Gaza Meski Ditentang Kepala IDF

"Ini akan semakin menekan Hamas dan mengurangi keausan di tubuh militer kami," katanya kepada pasukan IDF di kawasan Shejaiya.

Rencana baru itu, menurut laporan, mendapat sambutan positif dari beberapa menteri. Namun Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dilaporkan langsung menghentikan pembahasan proposal tersebut karena khawatir mengganggu negosiasi gencatan senjata dan pembebasan sandera yang sedang berlangsung di Doha.

Netanyahu dikabarkan masih berpegang pada rencana kota humanitarian yang sebelumnya diusulkan oleh Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz. Zona tersebut dirancang untuk menampung seluruh warga Gaza—lebih dari dua juta orang—dalam area pesisir di atas reruntuhan Rafah dan mereka disebut tidak diperbolehkan keluar dari zona tersebut.

Namun rencana itu ditentang keras oleh Zamir, yang menyebutnya "tidak dapat dijalankan" dan tidak realistis secara logistik maupun politis.
 
Baca Juga:
Menhan Israel Ingin Kurung Warga Gaza di 'Kota Humanitarian' di Atas Reruntuhan Rafah

Dalam pengarahan militer, Zamir menyampaikan bahwa perluasan operasi darat akan memberikan tekanan langsung kepada Hamas agar menerima kesepakatan damai sekaligus mempermudah proses pembebasan sandera. Ia juga menekankan bahwa IDF telah menyiapkan skenario ofensif tambahan untuk mendukung rencana tersebut.

Sebagai bagian dari strategi perluasan militer tersebut, IDF untuk pertama kalinya sejak perang meletus mengeluarkan peringatan evakuasi untuk wilayah Deir al-Balah di Gaza tengah. Langkah ini membuka kemungkinan dimulainya operasi darat di kawasan yang sebelumnya dihindari karena diyakini menjadi lokasi penyanderaan. 

Di sisi lain, pernyataan kontroversial muncul dari Menteri Proyek Permukiman Orit Strock yang menyatakan bahwa operasi militer seharusnya dilanjutkan meski berisiko terhadap nyawa sandera.

"Perlu ada upaya untuk tidak melukai sandera, tetapi bukan berarti kita tidak boleh mengalahkan Hamas di wilayah tersebut," ujarnya. Forum Keluarga Sandera mengecam pernyataan itu, menuding Strock "mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan demi ambisi politik."
 
Baca Juga:
Israel Perluas Serangan ke Deir al-Balah Gaza untuk Pertama Kalinya

Partai-partai sayap kanan seperti Religious Zionism dan Otzma Yehudit secara terang-terangan menolak setiap gencatan senjata dan menginginkan perang berlanjut hingga Hamas benar-benar dilenyapkan. Mereka juga mendorong pendudukan penuh wilayah Gaza demi rencana jangka panjang pendirian permukiman Yahudi.

Sementara itu, proses negosiasi yang dimediasi AS di Doha masih berlangsung sejak 6 Juli 2025. Proposal yang dibahas mencakup masa gencatan senjata selama 60 hari dan pembebasan sebagian sandera, termasuk jasad yang telah terkonfirmasi tewas. Forum Keluarga Sandera menolak skema bertahap ini dan mendesak agar pembebasan dilakukan secara serentak.

Presiden AS Donald Trump menyatakan pada 18 Juli bahwa kesepakatan kemungkinan bisa tercapai dalam waktu dekat. Israel klaim telah membunuh lebih dari 20.000 kombatan Hamas, sementara lebih dari 58.000 orang dilaporkan tewas atau hilang di Gaza menurut data otoritas setempat. Hamas juga diyakini masih menahan 50 sandera, termasuk jasad 28 orang dan dua individu dengan kondisi yang sangat mengkhawatirkan.

Konflik ini bermula dari serangan besar-besaran Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 warga Israel dan menculik 251 orang. Kini, tekanan terhadap Israel dan Hamas untuk segera menyepakati gencatan senjata kian meningkat, seiring makin memburuknya situasi kemanusiaan di Gaza dan desakan publik terhadap pembebasan para sandera yang tersisa.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Surya Perkasa)