Ilustrasi. Foto: MI.
Media Indonesia • 5 November 2025 16:06
Jakarta: Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid menambah rentetan praktik korupsi di tingkat pemerintah daerah. Dalam operasi tersebut, KPK mengamankan sedikitnya 10 orang dan uang tunai senilai Rp1,6 miliar.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sekaligus pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan menilai kasus tersebut mencerminkan persoalan lama yang belum terselesaikan. "Korupsi di kalangan pemerintah daerah, termasuk di Riau, sudah seperti penyakit lama yang tak kunjung sembuh. Bidang pengadaan barang dan jasa, terutama infrastruktur, masih menjadi ladang empuk penyimpangan," kata Djohermansyah dikutip dari Media Indonesia, Rabu, 5 November 2025.
Ia mencatat, 39 gubernur di Indonesia tersangkut kasus korupsi sejak diberlakukannya otonomi daerah pada 2005. Kondisi itu menandakan akar persoalan bukan hanya pada individu, melainkan pada sistem politik yang memberi ruang besar bagi praktik transaksional.
"Ini menunjukkan bahwa problemnya bukan pada individu semata, melainkan sistem politik dan tata kelola pemerintahan yang belum bersih," ungkap Djohermansyah.
Menurutnya, mahalnya biaya politik dalam pilkada menjadi sumber utama korupsi kepala daerah. Para calon kepala daerah harus menanggung biaya besar untuk mahar politik, saksi, dan kampanye. Setelah terpilih, dorongan untuk mengembalikan modal itu tak terhindarkan.
"Modal untuk menjadi kepala daerah itu besar. Mereka harus membayar mahar politik ke partai pengusung, membeli suara, ongkos saksi, dan membiayai tim sukses. Setelah terpilih, ada dorongan kuat untuk mengembalikan modal itu," jelasnya.
Djohermansyah juga menyoroti fenomena 'jatah reman' yang terungkap dalam OTT terbaru. Ia menyebut pola itu sebagai bentuk pemerasan terhadap pengusaha, bukan sekadar suap.
KPK menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka pemerasan. Foto: Metrotvnews.com/Candra.
"Kalau saya cermati, ini bukan kasus suap biasa. Ini lebih ke pemerasan. Pengusaha yang dapat proyek diminta setoran. Ada tekanan, ada pemaksaan," sebut Djohermansyah.
Menurut dia, praktik tersebut bukan hanya melanggar hukum. Tetapi juga menurunkan kualitas pekerjaan publik.
"Kalau kontraktor dipaksa setor, pasti spesifikasi proyek diturunkan. Akhirnya masyarakat yang rugi," ujar Djohermansyah.
Sebagai mantan Penjabat Gubernur Riau, Djohermansyah menilai korupsi di daerah itu tidak disebabkan lemahnya budaya lokal. Melainkan karena nilai-nilai adat dan agama tidak lagi menjadi pedoman pejabat.
"Orang Riau itu agamis dan beradat kuat. Tapi dalam praktik kekuasaan, nilai-nilai itu tidak lagi jadi pedoman. Integritas berbasis adat dan agama itu yang dikesampingkan," ujar Djohermansyah.
Untuk memutus rantai korupsi kepala daerah, Djohermansyah menilai reformasi sistem Pilkada adalah langkah mendesak. Jika tidak, kasus korupsi di pemeritah daerah berpotensi tetap terjadi.
"Saya tidak yakin kasus di Riau ini yang terakhir. Akan ada lagi jika akar masalahnya tidak diselesaikan. Perbaiki dulu sistem Pilkada kita. Kalau ongkosnya mahal, korupsi akan terus jadi jalan pintas," kata Djohermansyah.
"Semoga KPK makin kuat dan konsisten, tidak main-main. Karena hanya penegakan hukum yang tegas dan sistem politik yang sehat yang bisa menyelamatkan daerah dari korupsi," imbuh Djohermansyah.