Ilustrasi. Medcom
Siti Yona Hukmana • 20 November 2025 11:57
Jakarta: Adik kandung Wakil Presiden ke-10 dan 12 Jusuf Kalla, Halim Kalla (HK), memenuhi panggilan pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 1 di Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar) periode 2008-2018. Halim tiba di Bareskrim Polri sekitar pukul 10.20 WIB.
Kedatangan Halim tak terpantau awak media. Diduga, Halim Kalla yang merupakan Presiden Direktur PT BRN memasuki Gedung Bareskrim Polri lewat pintu lain.
"Iya HK sudah datang," kata Direktur Penindakan Korps Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri, Brigjen Totok Suharyanto, saat dikonfirmasi, Kamis, 20 November 2025.
Pemeriksaan Halim Kalla hari ini merupakan penjadwalan ulang setelah absen dalam panggilan pemeriksaan pada Rabu, 12 November 2025. Halim tidak hadir dengan alasan sakit.
Tersangka lainnya berinisial HYL selaku Dirut PT Praba telah diperiksa pada Selasa, 18 November 2025. Namun, materi pemeriksaannya tidak dipublikasikan.
Sebelumnya, penyidik memeriksa tersangka RR selaku Dirut PT BRN pada Selasa, 11 November 2025. Sedangkan, tersangka Fahmi Mochtar (FM) selaku Direktur Utama (Dirut) PT PLN (Persero) periode 2008-2009, yang juga dipanggil meminta penundaan pemeriksaan.
"Dengan alasan sakit pascaoperasi," ujar Totok.
Keempat tersangka tidak ditahan karena tengah proses pemberkasan perkara dan koordinasi dengan jaksa penuntut umum (JPU). Meski demikian, para tersangka dicegah ke luar negeri.
Duduk Perkara Korupsi PLTU
Tindak pidana korupsi ini berawal pada 2008, PT PLN mengadakan lelang ulang untuk pekerjaan
PLTU 1 Kalimantan Barat dengan kapasitas output sebesar 2x50 MW di kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat.
"Mensrea yang dibangun adalah pelaksanaan lelang tersebut didapat fakta tersangka FM selaku dirut PLN telah melakukan pemufakatan untuk memenangkan salah satu calon dengan tersangka HK dan tersangka RR selaku pihak PT BRN dengan tujuan untuk memenangkan lelang PLTU 1 Kalimantan Barat," ungkap Totok.
Dalam pelaksanaan lelang diketahui Panitia Pengadaan atas arahan mantan Direktur Utama PLN inisial FM telah meloloskan dan memenangkan KSO BRN Alton UGSC, meskipun tidak memiliki syarat teknis maupun administrasi. Selain itu, diduga kuat perusahaan Alton UGSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh PT BRN.
Kemudian, pada 2009 sebelum dilaksanakan penandatanganan kontrak, KSO BRN telah mengalihkan seluruh pekerjaan kepada PT Praba Indopersada, dengan Dirut inisial HYL. Dalam kesepakatan itu, ada pemberian imbalan fee kepada PT BRN. Selanjutnya, tersangka HYL diberi hak sebagai pemegang keuangan KSO BRN.
"Dalam hal ini, diketahui bahwa PT Praba tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek PLTU di Kalimantan Barat," beber Totok.
Kemudian, pada 11 Juni 2009 dilakukan panandatanganan kontrak oleh tersangka FM selaku Dirut PLN kala itu, dengan tersangka RR selaku Dirut PT BRN dengan nilai kontrak USD80.848.341 dan Rp507.424.168.000. Dengan, tanggal efektif kontrak 28 Desember 2009 dengan masa penyelesaian sampai 28 Februari 2012.
Namun, pada akhir kontrak KSO BRN maupun PT Praba Indopersada baru menyelesaikan 57 pekerjaan. Kemudian telah dilakukan 10 kali amandemen terakhir pada 31 Desember 2018.
Ternyata, pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan baru selesai 85,56 persen. Sehingga, PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323 miliar dan sebesar USD62,4 juta.
"Itulah yang terjadi dengan total loss kerugian yang tadi telah disampaikan," ucap Totok.
Keempat tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.