Rupiah Terancam Tertekan Dampak Penutupan Pemerintah AS ke RI

Ilustrasi. Foto: Dok MI

Rupiah Terancam Tertekan Dampak Penutupan Pemerintah AS ke RI

Insi Nantika Jelita • 12 October 2025 17:15

Jakarta: Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menilai, penghentian sementara kegiatan pemerintahan atau government shutdown di Amerika Serikat (AS) berpotensi mengguncang stabilitas pasar keuangan global melalui tiga saluran utama. Yakni, sentimen risiko global, ketersediaan dolar sebagai likuiditas pembiayaan, serta kejelasan arah kebijakan moneter AS.

Menurutnya, dalam jangka pendek, ketidakpastian politik dan terhentinya sebagian publikasi data ekonomi AS mendorong investor beralih ke aset aman, sehingga dolar menguat dan pasar global cenderung bersikap risk-off. Pekan ini, terang Josua, pola tersebut terlihat jelas, dengan indeks dolar naik sekitar satu setengah persen di tengah kebuntuan anggaran di Washington.

Jika penutupan berlangsung lebih lama, risiko pelemahan ekonomi domestik AS meningkat, pada gilirannya dapat menekan dolar karena perhatian pasar bergeser dari isu likuiditas ke kekhawatiran pertumbuhan AS.. 

"Bagi Indonesia, fase awal penutupan biasanya menambah tekanan pada rupiah, baik melalui penguatan dolar maupun pergeseran aliran modal ke aset aman," jelas Josua saat dihubungi Media Indonesia, Minggu, 12 Oktober 2025.

Dalam beberapa hari terakhir, ia mengatakan dolar AS yang menguat membuat sebagian besar mata uang Asia melemah, dan arus dana menunjukkan minat asing ke Asia menurun, sejalan dengan sentimen yang lebih hati-hati terhadap aset berisiko. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Jumat, 10 Oktober 2025, anjlok menjadi 16.570 per dolar AS.

"Kondisi ini membuat rupiah cenderung bergerak lemah terhadap dolar pada saat ketidakpastian memuncak," ucapnya.

Namun, sambungnya, jika penutupan berkepanjangan hingga memukul ekonomi AS, pasar bisa berbalik mengantisipasi pelonggaran moneter, dan dolar berpotensi melemah. Dengan kata lain, respons rupiah akan sangat bergantung pada fase pasar, apakah masih di periode dolar kuat atau sudah memasuki fase kekhawatiran pertumbuhan AS.

Tekanan domestik terhadap rupiah

Selain faktor eksternal, kondisi domestik turut menentukan besarnya pelemahan rupiah. Kepala Ekonom Permata Bank itu mengatakan, tahun ini pasar keuangan Indonesia mencatat arus keluar dana asing dari saham dan instrumen jangka pendek Bank Indonesia. Sementara, arus masuk ke Surat Berharga Negara (SBN) relatif kecil. Cadangan devisa juga menurun akibat intervensi stabilisasi rupiah.

Kombinasi ini, jika ditambah kebijakan ekonomi yang mulai beralih ke arah pro-pertumbuhan dan selisih imbal hasil yang menyempit dengan AS, membuat rupiah semakin sensitif terhadap guncangan eksternal seperti shutdown AS. 

“Tanpa perbaikan sentimen global, rupiah cenderung tertekan lebih dulu sebelum berpeluang pulih ketika siklus dolar berbalik,” ramal Josua.

Dampak berikutnya dari government shutdown di AS akan terasa pada harga komoditas global, melalui kanal dolar dan permintaan. Pada fase dolar kuat, Josua mengatakan, harga emas biasanya naik karena statusnya sebagai aset lindung nilai. Sementara, minyak dan logam industri melemah akibat melemahnya ekspektasi permintaan dan biaya pembiayaan yang lebih mahal. 

"Data terbaru menunjukkan harga emas melonjak, sedangkan minyak dan bahan bakar olahan turun sepanjang kuartal berjalan," imbuhnya.

Bagi Indonesia, efeknya berlapis. Turunnya harga minyak bisa meringankan beban impor energi dan membantu menahan defisit migas. Namun, perlambatan ekonomi AS yang menekan permintaan global dapat menurunkan harga komoditas ekspor utama seperti batu bara, minyak kelapa sawit atau CPO, dan logam. 

"Jika harga ekspor jatuh lebih dalam daripada penurunan biaya impor energi, maka shutdown AS akan berdampak netral hingga sedikit negatif terhadap neraca dagang Indonesia,” papar Josua.

Sebagai langkah antisipatif, Josua menekankan pentingnya menjaga bantalan likuiditas valas dan komunikasi pasar untuk menghadapi gejolak awal akibat dolar kuat. Pemerintah dan otoritas moneter perlu memanfaatkan momentum pelemahan dolar untuk menarik kembali aliran dana portofolio jangka menengah, serta mendorong strategi lindung nilai bagi pelaku usaha yang bergantung pada impor energi dan ekspor komoditas.

“Dengan langkah antisipatif, Indonesia dapat melewati tekanan jangka pendek tanpa kehilangan peluang ketika pasar global beralih fokus ke perlambatan ekonomi AS,” tutup Josua.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Eko Nordiansyah)