Podium Media Indonesia: Plaza Demokrasi Saatnya Dibangun

Dewan Redaksi Media Group, Gaudensius Suhardi. MI/Ebet

Podium Media Indonesia: Plaza Demokrasi Saatnya Dibangun

Media Indonesia • 8 September 2025 06:52

APAKAH teriakan 1.000 demonstran di depan pintu gerbang DPR bisa terdengar sampai kantor anggota DPR? Seorang warganet menghitung dengan rumusan fisika. Hasilnya, suara 1.000 orang itu hanya terdengar seperti suara AC. Teriakan 1 miliar orang baru mampu menembus peredam dinding ruangan anggota DPR.

Anggota DPR berkantor di Gedung Nusantara I DPR. Gedung 23 lantai itu tinggi menjulang di antara tujuh bangunan lainnya. Letaknya paling belakang, sekitar 800 meter dari pintu gerbang utama di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat.

Pintu gerbang utama itu setinggi 5 meter dan diapit pagar sepanjang 523 meter dengan tinggi 4 meter. Pembangunan pagar bagian depan senilai Rp1,914 miliar itu bertujuan menghadirkan rasa aman dan nyaman bagi penghuninya meski memisahkan rakyat yang berdemonstrasi dari wakil mereka.

Wajar saja bila anggota DPR tidak pernah mendengarkan suara yang berteriak sampai urat leher putus di depan pintu gerbang. Para wakil rakyat sibuk bekerja di ruangan berpendingin udara, sedangkan para demonstran tetap berada di bawah terik matahari.

Dibutuhkan solusi cerdas dan bijaksana agar suara demonstran bisa didengarkan anggota DPR. Jangan biarkan para demonstran berteriak di bawah panas terik matahari dan ujung-ujungnya demo damai berubah menjadi kerusuhan.

Unjuk rasa yang berujung pada kerusuhan pasti menimbulkan kerugian ekonomi, kerugian sosial, dan kerugian politik. Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengungkapkan kerugian akibat kekisruhan demo pekan lalu senilai Rp55 miliar.
 

Baca juga: Editorial Media Indonesia: Saatnya Merealisasikan Tuntutan

Kiranya DPR perlu menghadirkan ruang demonstrasi di dalam kompleks parlemen seluas 80 hektare itu. Ruang demonstrasi itu menjadi ruang publik yang oleh Juergen Habermas dimaksudkan sebagai ruang bebas berekspresi (freedom of speech) bagi seluruh ide dan gagasan, tempat rakyat bisa bebas berkumpul, berpendapat, dan berekspresi.

Ruang publik yang dicita-citakan Habermas mengedepankan adanya dialog dalam kesetaraan, menekankan tindakan komunikatif dalam praksis demokrasi. Negara harus mengartikulasikan aspirasi masyarakat di ruang publik, termasuk dalam bentuk demonstrasi, sehingga negara tidak kehilangan otoritas moralnya.

Demonstrasi, menurut UU 9/1998, ialah kegiatan yang dilakukan seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. Akan tetapi, menurut Pasal 9 ayat (2) UU 9/1998, itu dapat dilakukan di tempat-tempat terbuka untuk umum dengan pengecualian seperti di lingkungan istana kepresidenan.

Memang tidak tersurat larangan demonstrasi di jalan raya. Namun, Pasal 6 huruf a UU 9/1998 mengatur agar demonstran menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain. Karena itu, penting bagi DPR menyiapkan ruangan terbuka untuk demonstran di dalam kompleks parlemen. Manfaat lainnya ialah anggota DPR bisa menyaksikan dari dekat dan mendengarkan tuntutan demonstran.
 
Baca juga: Ini 5 Demonstrasi Terbesar dan Mengguncang dalam Sejarah Dunia

Sudah lama DPR menggagas pembangunan alun-alun demokrasi alias plaza demokrasi. Rencana itu tertuang dalam dokumen laporan Rancangan Rencana Strategis DPR 2015-2019. Plaza demokrasi itu menjadi tempat yang manusiawi bagi masyarakat menyampaikan aspirasi. Bukankah DPR bertugas menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat?

'Pembangunan alun-alun demokrasi dapat menjadi salah satu tempat untuk menampung aktivitas tersebut dengan memperhatikan lokasi yang memiliki latar ikon Gedung DPR RI yang mampu memuat 10.000 demonstran dan 100 bus, terbuka, tidak mengganggu lalu lintas, tersedia panggung orasi, tidak mengganggu kerja anggota DPR RI, dan aman', demikian tertulis di halaman 69 dokumen itu.

Alun-alun demokrasi, disebut juga sebagai plaza demokrasi, hingga kini masuk proyek mangkrak. Pembangunan alun-alun itu diresmikan pada 21 Mei 2015 oleh Ketua DPR (saat itu) Setya Novanto. Letaknya di sisi kiri kompleks parlemen, yang saat itu dijadikan sebagai Taman Rusa, lapangan futsal, dan tempat parkir kendaraan. Dibangun di atas 20 hektare lahan.

Buku Memori DPR RI Periode 2014-2019 juga mencantumkan rencana pembangunan alun-alun demokrasi di halaman 78. Disebutkan pentingnya pembangunan alun-alun demokrasi. Masyarakat secara legal diberi tempat untuk melakukan demonstrasi. Hal itu akan sangat berperan dalam sempitnya tata ruang Ibu Kota sehingga demonstrasi sebagai ciri khas negara demokrasi tidak lagi dilakukan di jalan raya yang mengganggu pengguna jalan.

Pembangunan alun-alun demokrasi masuk APBN 2018, tetapi anggaran belum cair karena tidak disetujui Presiden Joko Widodo. Pada anggaran 2019 diusulkan Rp281,58 miliar untuk alun-alun demokrasi, lagi-lagi dana tidak cair. Rencana pembangunan alun-alun demokrasi terbengkalai hingga kini.

Plaza demokrasi yang akan dibangun di dalam kompleks parlemen memungkinkan kegiatan demonstran lebih tertata tanpa mengganggu kepentingan umum. Paling penting lagi, DPR dan rakyat semakin dekat. Suara demonstran bisa didengar wakil mereka.

Aspirasi rakyat yang disampaikan di plaza demokrasi mesti ditindaklanjuti DPR. Jangan masuk telinga kanan keluar telinga kiri seperti biasanya selama ini.

Bila perlu, Badan Keahlian DPR ditugasi bersama anggota dewan untuk mencatat, merumuskan, dan mencarikan solusi strategis atas semua aspirasi yang disuarakan di plaza demokrasi. Aspirasi itu bisa ditindaklanjuti dalam pembuatan undang-undang atau menjadi bahan pengawasan legislatif atas eksekutif. Itulah bentuk nyata demokrasi substansial, bukan demokrasi seolah-olah.

Elok nian bila plaza demokrasi dibangun di banyak tempat di Ibu Kota, termasuk di depan Istana Negara. Bila perlu, daerah pun mempertimbangkan untuk membangun plaza demokrasi agar masyarakat menyalurkan kritik secara beradab.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arga Sumantri)